KETAKUTAN TERBESAR

160 8 3
                                    

Jatuh cinta kepadamu membuatku takut kehilangan

Keputusanmu untuk pergi membuatku takut untuk pulang

Kepulanganmu saat ini membuatku kembali takut

Takut untuk kembali terluka olehmu

Sekalipun pada akhirnya nanti,

Aku akan berkali-kali jatuh cinta dan berkali-kali tersakiti

Oleh orang yang sama

Lalu bagaimana jika ternyata, kamu adalah ketakutan terbesarku?


I should say good bye to Jogja soon! Aku masih memandang hampa pada selembar tiket kereta yang ada di tanganku. Tiket kereta yang telah aku pesan ini harus aku batalkan dengan segera. Email dari Pak Ardi malam setelah aku mendapatkan tiket ini membuatku harus secepat mungkin sampai di Jakarta, karena sudah ada klien yang harus segera aku tangani. Setelah pertemuanku kembali dengan Bayu yang pertama kali tempo hari, aku langsung mengirim email ke Pak Ardi untuk memberithukan bahwa, aku memutuskan untuk tidak memperpanjang cutiku. Sehari setelahnya Pak Ardi pun mengirim email untuk penugasanku ke Surabaya dan beberapa dokumen yang harus aku pelajari terlebih dahulu.

"See you in Jakarta soon!" sebuah pesan whatssapp dari Irsyad tiba-tiba muncul. Aku menghela nafas dalam dan panjang. So, what's wrong with that sentence, Rayya? it's your choice, right? See you in Jakarta soon, good bye Jogja soon!

Aku masih membiarkan koperku terbuka dan belum mamsukan seluruh barang-barangku ke dalam koper lagi untuk di-packing ke Jakarta. Ada rasa tidak rela untuk segera kembali ke Jakarta. Ada rasa ingin tetap tinggal di Jogja bahkan untuk kembali menetap di Jogja. Tapi apa jadinya nanti jika aku memilih untuk kembali menetap di Jogja? Bagaimana rasa sakitnya yang akan terasa lebih sakit lagi setiap harinya? Bagaimana jika Bayu berulang kali kembali datang tiba-tiba ke hadapanku. Wait! Bukan kah seharusnya aku bahagia dengan kedatangan Bayu kembali. Dengan kepulangan Bayu. Dengan ajakan Bayu untuk kembali bersama. Seharusnya aku bahagia karena doaku selama bertahun-tahun akhirnya menemukan jawabannya. Mungkin ini lah cara Tuhan menguji rasa cintaku kepada Bayu. Mungkin Tuhan ingin memastikan bahwa, aku benar-benar mencintai Bayu. No matter what! Tapi entah mengapa, justru perasaan bimbang yang hadir saat kembali melihat Bayu ada di hadapanku. Perasaan sakit hati yang kembali terasa seperti saat awal dulu aku merasakannya ditambah dengan perasaan bimbang dengan ajakan Bayu untuk kembali. Seharusnya dengan segera aku mengatakan "iya" untuk ajakan Bayu itu.

Dering handphone membuatku tersadar dari lamunanku. Irsyad. Nama itu yang muncul di layar handphone-ku.

"Ray, udah packing lo?" tanya Irsyad begitu aku mengangkat telfon darinya. Kebiasaan Irsyad di telfon adalah langsung to the point tanpa basa-basi atau sekedar mengucapkan salam.

"Salam dulu kek, nanyain kabar gue dulu kek," protesku sambil menghela nafas dan menatap malas ke arah koperku yang masih terbuka di lantai serta beberapa baju yang tergeletak di kasur dan siap masuk ke dalam koper.

"Kabar orang liburan sih pasti lagi bahagia, nggak perlu lah gue tanyain," kata Irsyad sambil tertawa di ujung telfon sana. Dari semua teman sekantorku mungkin hanya Irsyad yang bisa menjadi temanku bercerita tentang masalah pribadi selain masalah pekerjaan. Mungkin karena pembawaan Irsyad yang cenderung nyeleneh dibanding dengan teman sekantorku yang kebanyakan memiliki pembawaan yang serius. Atau bisa jadi karena Irsyad dan aku adalah teman seangkatan saat masuk kantor. Tiga tahun lalu, kami berdua kebetulan bersamaan diterima untuk bekerja di kantor kami saat ini. Karena itu juga kami kerap dilibatkan dalam satu tim untuk menangani klien.

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang