WAVES

84 7 0
                                    


                                                                                                                        It feels like the wave that rolled up

 When happiness and doubtness are coming in the same time


Mungkin benar tidak selamanya hidup itu tenang. Tidak jarang kita harus melewati berbagai kegelisahan sebelum menemukan ketenangan tersebut. Bukan kah pada akhirnya yang diinginkan oleh manusia adalah ketenangan? Sebagain orang bekerja keras siang dan malam, mengabaikan letih dan bosan, pada akhirnya untuk bisa memiliki hidup yang tenang, untuk berlibur di tempat yang tenang. Di Jakarta, aku banyak menemui orang yang rela bekerja keras seperti tanpa mengenal lelah, berjibaku dengan kemacetan yang sering kali tidak manusiawi, mengiyakan perintah lembur dari atasan tanpa mampu menolak, bahkan beberapa sengaja mencari-cari penghasilan tambahan. Pada akhirnya, semua uang yang mereka kumpulkan mereka gunakan untuk berlibur di suatu tempat yang tenang. Membeli ketenangan. So do i!

Pergi jauh-jauh ke Gili Trawangan, menjauh dari hiruk pikuk kota, terlebih lagi Jakarta. Mengistirahatkan telinga dari kebisingan kendaraan bermotor dan memanjakan paru-paru agar dapat menghirup udara yang jauh lebih segar dan bebas. Semua ini aku lakukan setelah melakukan pekerjaan demi pekerjaan yang menyita sebagian besar waktuku. Setelah melakukan lembur berbulan-bulan. How pathetic! But it's our life. A company slave's life!

"It called heaven," kata Bhumi degan setengah berbisik. Kedua matanya tidak lekang menatap ke lautan luas di depan kami. Kami kini berada di atas perahu yang membawa kami ke diving spot yang terbaik di sekitaran pulau. Cuaca sangat bagus hari ini, kemungkinan kami akan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk melakukan snorkeling. Ya. Akhirnya mereka memilih untuk hanya melakukan snorkeling hari ini dan diving di keesokan harinya. "Does Jakarta offer this to you?"

"No. But Jakarta offer me the money to do this," aku menjawab sambil tertawa. Yeah, just make me laugh again, Bhum! I don't wanna get some seasick!

Aku benar-benar melihat kedua mata Bhumi berbinar-binar. Selain bercerita tentang pekerjaannya, ternyata berada di tengah laut seperti ini dapat membuatnya begitu bahagia. Is it you favourite, Bhum? Bhumi mengulurkan sepatu katak, pelampung dan kacamata snorkeling kepadaku.

"You need this to save your self," kata Bhumi sambil membantuku mengenakan pelampung dan kacamata. Baru kali ini aku merasa begitu bodoh di depan Bhumi. I never did it before, I never could swim everywhere, even only at the swimming pool and now I should do this in the middle of the sea! For God's sake!

"Thankyou," ucapku saat Bhumi telah selesai membantuku mengenakan peralatan untuk snorkeling. Sementara Bhumi sendiri hanya mengenakan sepatu katak dan kacamata. "You only wear them?" tanyaku sambil menunjuk pada sepatu katak dan kacamata yang baru saja selesai dikenakannnya. Bhumi hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman.

Tepat setelah pemandu kami mengatakan bahwa kami telah sampai di spot pertama, Bhumi dan teman-temannya, beserta Irsyad langsung terjun bebas ke dalam laut. Mereka menyelam masuk ke dalam laut seperti mereka sedang berada di dalam kolam renang. God, don't you remember it's a sea, guys!

"Come on, Ray! Jump!" Andin melambaikan tangannya kepadaku, menyuruhku untuk segera turun mengikutinya. "It's okay, Ray!"

"Ndin, ini laut, Ndin, dalem, Ndin," kataku dengan ragu-ragu dan masih duduk di tepian kapal sambil memeluk tiang kapal. "Even in a swimming pool, I couldn't swim!"

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang