JAKARTA?

229 18 2
                                    

Jakarta changes people

Jakarta changes you

Jakarta take you away from me

Jakarta polluted my dreams about you


JAKARTA. Bagi Jakarta dreamers kota ini adalah pusat dari segala mimpi mereka. Hidup di Jakarta, bekerja di Jakarta, mengikuti gaya hidup Jakarta yang tidak pernah ada matinya. Being Jakartans is their whole dream! For me? Jakarta is not more than a huge mistic forest. Bisa menelan apa dan siapa saja secara mistis. Bisa menghilangkan apa saja secara sadis dan tanpa jejak, tapi Jakarta selalu meninggalkan jejak. Di Jakarta aku semakin sadar bahwa, tidak ada yang abadi dalam kehidupan. Life is temporary. Hidup tidak lebih dari perpindahan satu fase ke fase yang lain. You only have your memmories! Masa depan? Who knows? Orang yang mendatangi Jakarta dengan banyak janji untuk tidak akan banyak berubah, pada akhirnya akan berubah.

Melepaskan mimpi pada Jakarta seperti harus siap kehilangan masa depan yang perlahan-lahan sudah disiapkan sebelumnya. Melepaskan mimpi terbesar pada Jakarta bukan ide yang baik sepertinya. Setidaknya begitu lah pengalamanku. Saat mengijinkan Aras untuk mewujudkan Jakarta dream-nya, saat itu lah aku mengijinkan mimpi dan masa depan yang sudah lama kami susun dan persiapkan untuk lepas.

Aras memang salah satu Jakarta dreamer. Mimpinya untuk tinggal dan bekerja di Jakarta sangat besar. Gemerlap Jakarta sepertinya begitu menarik baginya. Banyak hal yang diusahakannya untuk dapat bersaing dalam kehidupan Jakarta. Sementara aku tidak terlalu tertarik pada kehidupan Jakarta, bagiku hidup adalah di Jogja. Sebut saja aku bukan seorang lelaki dengan jiwa petualang. Tapi Jogja sudah merupakan rumah dan bumi bagiku. Kemanapun aku pergi, aku harus pulang ke Jogja. Segemerlap apapun kehidupan di Jakarta tetap tidak menarikku untuk hidup berlama-lama di Jakarta.

"Jakarta bisa memberikan kamu apapun. Jakarta tempat terbaik mewujudkan mimpi kamu untuk jadi dokter syaraf," Aras selalu bersemangat setiap membicarakan Jakarta. "Sayang banget buat kamu yang udah sekolah jauh-jauh di luar negri tapi Cuma di Jogja doank."

"Doesn't matter donk, Aras, Jogja juga bagus kok buat karirku. Orang sakit kan nggak Cuma di Jakarta," kataku sambil tersenyum melihat geliatan semangat di wajah perempuan yang selalu terlihat cantik sekalipun ia belum mandi seharian. "Lagian kan aku bisa sesekali ke Jakarta nengokin kamu."

Aku selalu mendukung apapun yang diinginkan Aras. Tapi entah mengapa sejujurnya aku tidak terlalu mendukung keinginan Aras untuk pindah ke Jakarta. Meskipun di Jakarta Aras akan bekerja di salah satu Bank terbesar. Bukan perkara karirnya yang kemungkinan akan cepat menanjak, bukan perkara waktunya yang akan sangat tersita untuk profesi seorang banker. Tapi ada ketakutan besar saat mengijinkan Aras ke Jakarta. Ketakutan Aras akan tertelan mistisnya Jakarta dan tidak akan kembali lagi. Lima tahun bersama dan ketakutan terbesar untuk kehilangan baru lah muncul saat mengijinkan Aras ke Jakarta.

Dua tahun pertama Aras di Jakarta semua berjalan baik-baik saja. Merasakan long distance relationship Jogja-Jakarta, entah mengapa rasanya lebih berat diibandingkan saat merasakan long distance relationship Osaka-Jogja. Saat dua tahun menjalani long distance relationship Osaka-Jogja, rasanya lebih tenang dan nyaman, rasa takut kehilangan tidak terlalu besar.

"Jakarta is not monster yaa," Aras selalu tertawa setiap mendengar ketakutanku akan Jakarta. Bagi Aras, aku menganggap Jakarta sebagai monster yang dapat saja sewaktu-waktu menelannya dan menghilangkannya dariku.

Memasuki tahun ketiga Aras di Jakarta, keadaan mulai berubah. Komunikasi kami memburuk. Mungkin karena kesibukan Aras dengan pekerjaannya dan seringnya Aras melakukan business trip keluar kota. Sementara pekerjaanku di rumah sakit dan di kampus juga semakin menyita waktu. Delapan tahun lebih saling mengenal dan tujuh tahun lebih memutuskan untuk bersama ternyata belum cukup membuatku dan Aras memiliki kepercayaan yang kuat. Kami belum mengenal doa sebagai penjaga yang terbaik untuk hubungan kami. Kami masih terlalu percaya pada kehadiran fisik dan komunikasi melalui gadget.

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang