[14] Berbeda

5.5K 573 5
                                    

Malam telah semakin larut, namun Prilly masih saja terjaga. Entah sudah berapa puluh kali gadis itu mencoba untuk memejam, namun nyatanya...

Gagal.

Sulit sekali membuat matanya mengatup. Rasanya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang seolah menahan kedua kelopak matanya agar tidak tertutup.

Aneh memang, tidak biasanya Prilly merasa seperti ini.

Merasa sulit terpejam hingga waktu telah menunjukkan pukul 3 pagi. Ya seperti saat ini, nyaris menjelang fajar.

Prilly juga tak mengerti, dengan apa yang kini terjadi pada dirinya. Sejak tadi, yang Gadis itu lakukan hanyalah menatap langit-langit kamar sambil diam-diam merekahkan senyum manisnya.

Namun sepersekian detik setelahnya, senyuman itu tergantikan dengan gelengan kuat seakan gadis itu tengah menepis sesuatu.

Sesuatu yang berbeda dan tidak pernah terjadi dalam hidupnya.

Iya, tidak pernah.

Prilly tidak pernah merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, lebih kuat, dan lebih kencang dari biasanya.

Prilly tidak pernah merasakan darahnya berdesir tiba-tiba.

Prilly tidak pernah merasakan kenyamanan yang berlebih ketika berada dalam pelukan.

Prilly tidak pernah tersenyum tanpa sebab.

Dan saat ini, semua itu terjadi begitu saja dalam dirinya ketika Ia berada didekat...

Ali.

'Duh, apaan sih Lo, Pril. Jangan ngaco.' Ujarnya sendiri seraya memukul ringan bagian kepalanya yang Ia rasa tidak sedang bekerja dengan normal.

Tak ingin terlalu larut dalam pikiran konyol itu, pada akhirnya Prilly memejamkan matanya secara paksa. Membiarkan lambat laun alam bawah sadar menuntun dirinya untuk bersemayam disana.

****
Tidak seperti biasanya,  Ali menyambut pagi ini dengan senyum yang tak kunjung lepas dari sudut bibirnya. Bahkan, pukul 6 pagi Ali sudah terlihat begitu rapi mengenakan celana jeans panjang, kaos putih polos yang dibalut dengan kemeja flanel berwarna biru dongker lengkap dengan sneakers berwarna senada yang kini sudah melekat di kakinya.

'Gantengnya Ali, duh jadi malu.' puji Ali sendiri pada dirinya ketika pemuda ini tengah berkaca untuk merapikan jambul kebanggaannya.

"Eh mampus, udah jam segini ternyata, kunci mana kunci mobil gue!" Pekik Ali dengan penuh kepanikan ketika menyadari bahwa saat ini arlojinya telah menunjukkan bahwa waktu begitu cepat bergulir. Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Ali segera menyambar kunci mobilnya seraya berlari keluar dari kamarnya.

"Den Ali sarapan dulu, ini udah bibi buatkan nasi goreng kesukaannya Den Ali." Teriak kencang Bi Irah dari sisi dapur, namun tetap saja itu semua tak membuat Ali berhenti dan menuruti kata Bi Irah untuk sarapan terlebih dahulu.

"Engga usah, Bi. Ali keburu-buru nih mau jemput Kiara dulu. Dadaaaah."

Dan akhirnyapun, Bi Irah hanyan mampu untuk menggelengan kepalanya pasrah. Pasalnya, Ia tahu betul, bahwa apapun dan bagaimanapun itu, Kiara adalah prioritas Ali, majikan kesayangannya.

*****

"Woi, Bu Anita nggak dateng, nih!" ujar seorang pemuda dengan suara menggebu-nggebu yang sontak mampu membuat suasana ricuh kelas Prilly menjadi hening.

"Eh serius, Lo?" Timpal pemuda lain yang kemudian dibalas dengan anggukan mantab dari Revo, pemuda yang tadi memberitahu bahwa hari ini kelas Bu Anita akan kosong.

Dan sontak, keheningan pun pecah.

Tawa menggelegar begitu jelas terdengar. Sorak sorak kebahagiaan, dan gurat yang penuh dengan senyuman tercetak jelas hampir dari seluruh mahasiswa/mahasiswi dikelas ini, kecuali...

Prilly.

"Pril, Bu Anita kosong nih! Yuhu!" Aulia yang sedari tadi sibuk menyalin tugas Bu Anita bersama dengan Dea dibelakang, kini heboh berlari kearah Prilly dengan antusiasnya.

Sementara Prilly yang melihat kelakuan sahabatnya itu, hanya mengangguk singkat tanpa menunjukkan ekspresi yang berlebih.

"Ih, Lo mah. Kenapa mukanya ditekuk gitu? Ada masalah? Kok Lo keliatan nggak semangat gitu sih?"

"Kenapa?"

Pertanyaan demi pertanyaan, terus saja muncul dari bibir mungil milik Aulia yang kini sudah duduk disebelahnya. Rupanya, gadis itu telah mengambil kursi sembarang dan menaruhnya didekat Prilly agar Ia bisa duduk dengan nyaman didekat Prilly.

"Nggak papa, biasanya aja. Emang Gue kenapa?" Tanya Prilly balik,  gadis itu lantas tersenyum dengan ulasan senyum tipis, berusaha meyakinkan Aulia bahwa tidak ada yang salah dengan dirinya.

Bukankah memang tidak ada yang salah dengan dirinya.

Dan bukankah harusnya memang seperti itu?

Ia tidak apa apa.

Namun kenyataannya, seperti ada sesuatu yang sedikit mencubit hatinya ketika Prilly tahu bahwa tadi Ali belum sempat sarapan, dan kemudian dengan inisiatifnya sendiri Prilly memutuskan untuk memasakkan sesuatu untuk Ali.

Dan ternyata, ketika tiba dikampus, Prilly menemukan fakta bahwa Ali tidak ada disana karena Ia akan menjemput Kiara, setidaknya begitulah yang tadi Ia dengar dari Keano.

Entah apa yang salah, semua itu terasa menyakitkan bagi Prilly hingga pada akhirnya gadis itu memilih untuk masuk kekelasnya, dan duduk manis seraya menatap tempat makan yang seharusnya Ia buat khusus buat Ali.

Sebagai tanda terimakasihnya atas apa yang telah Ali lakukan.

"Ah kelamaan Lo, keburu gue abisin juga nih bekal Lo." gerutu Aulia yang kemudian langsung mendapat pelototan tajam dari Prilly.

Dengan gerakan cepat, Prilly segera menjauhkan bekal tersebut dari jangkauan Aulia. "Enak aja main nyosor, Gue bikinnya ini pake perasaan, anjir!"

"Idih galak banget, lagian tumben tumbenan banget sih Lo bawa bekal. Biasanya juga gapernah." Cerca Aulia yang sudah hafal dan paham betul dengan Prilly.

Sejak kecil, Prilly memang bukan tipe gadis yang gemar membawa bekal kesekolah. Alasannya cuma satu, yaitu ribet. Dan bila Prilly belum sempat sarapan, pasti gadis itu akan lebih memilih untuk jajan.

"Lagian ini juga bukan buat Gue, kok. Males banget bawa ginian, enakan juga jajan."

"Nah terus, ini buat siapa?"

DYAR.

Prilly menggigit bibir bawahnya bingung sementara Aulia menatapnya tanpa berkedip.

"Buat gue ya?"

"Buat gebetan Lo?"

"Buat siapa, Pril?"

"Kepo, gue kepo nih!

Aulia memang kepo, dan Prilly tahu itu.
"Ini buat..." Prilly menggantukan kalimatnya sejenak, membiarkan kalimat itu jeda tanpa berlanjut.

Sampai beberapa saat Ia kembali membuka mulutnya dan berucap satu kata dengan nada suara yang begitu lirih, "Ali"

PERFECT SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang