Prilly meremas kuat bagian bawah dress yang Ia kenakan ketika dirinya sudah tiba diambang pintu appartement milik Ali. Tadinya, Prilly memang berniat untuk tidak bermalam disini untuk hari ini. Ia ingin kembali pulang kerumahnya, atau menuju rumah Aulia. Dimana saja, asal tidak bertemu dengan Ali.
Sayangnya, sebuah pesan singkat dari pembantu Ali yang masuk pada ponselnya mengharuskan Prilly untuk berada disini. Iya, pembantu Ali mengabarkan bahwa Ia pulang mendadak karena ada urusan.
Mau tidak mau, Prilly lah yang akan membantu Ali dalam menyiapkan berbagai keperluannya. Apalagi, Prilly ingat betul bahwa besok terdapat jadwal praktikum untuk pemuda menyebalkan itu. Pastinya, Ali akan membutuhkan seseorang yang dapat membantunya mempersiapkan perlengkapan sebelum Ia berangkat, bukan?Dan kali ini, orang itu adalah dirinya. Prilly.
Setelah merapalkan beberapa mantra yang membuatnya merasa sedikit lebih baik, akhirnya Prilly memasukan password appartement Ali hingga pintu itu dapat terbuka sempurna.
Iris matanya, menangkap sesuatu yang benar benar asing. Dan sukses membuat Prilly terkejut. Prilly melihat ruang tengah appartement Ali begitu kacau berantakan, sampah bertebaran. Juga pecahan kaca yang berceceran. "Astaga.."
Tak perlu waktu lama untuk sibuk sendiri dengan perkiraan Prilly mengenai apa yang terjadi, pikiran Gadis itu tertuju pada Ali.
Tepatnya, kondisi pemuda itu...Bagaimana? Ada apa?
Perlahan, Prilly mengayunkan kakinya melangkah menuju kamar Ali dan bergegas membuka pintu kamar pemuda itu. Takut-takut, Prilly mengkhawatirkan hal buruk terjadi pada Ali.
CEKLEK
Suara decitan knop pintu yang terbuka, memang cukup keras terdengar. Pasalnya, cara membuka Prilly juga dengan sepenuh tenaga. Prilly tidak peduli, Ia hanya ingin segera melihat Ali.
Kontan saja, pandangan Prilly terfokus pada seorang laki-laki yang berdiri dibalkon dengan posisi memunggunginya.
Prilly yakin, itu adalah Ali. Bajunya pun, masih sama seperti yang pemuda itu kenakan tadi pagi. Hanya bedanya, kini terlihat lebih jauh lebih kusut.
Prilly melangkahkan kakinya semakin maju. Mendekat kearah pemuda yang terlihat begitu menikmati setiap hisapan rokoknya. Sampai-sampai, kehadiran Prilly disini tak Ia sadari. Tak dapat membuat pemuda itu menoleh sedikitpun kearahnya.
Kakinya terus melangkah seiring dengan ekor matanya yang menyapu ruang kamar Ali. Prilly tidak menyangka, kamar rapi yang dulu pernah Prilly puji bertransformasi menjadi begitu berantakan dan berserakan.
Bahkan, meja kecil dibalkon kamar Ali yang biasanya hanya berisi kamera, ponsel, dan secangkir hot chocolate, kini beralih fungsi menjadi penopang untuk beberapa bungkus rokok. Vodka. Juga soda.
Langkah Prilly terhenti tepat disamping Ali. Perlu tarikan nafas yang dalam sebelum pada akhirnya, Gadis itu menoleh. Mendapati Ali dengan kondisi yang jauh dari kata baik.
"Li.." Panggil Prilly dengan suara yang pelan. Prilly mencoba lebih mendekat lagi, berharap yang dipanggil akan menoleh.
Perlu waktu bagi Ali, sebelum pada akhirnya Ia merespon Prilly. Kedua bola mata sayu milik pemuda itu bertemu dengan tatapan terkejut Prilly. Gadis itu tidak menyangka bahwa wajah Ali akan tampak semuram ini.
"Kiara?"
Satu nama yang keluar dari bibir Ali yang kini berdiri sempoyongan, seakan mematikan seluruh saraf Prilly. Ia tak bisa bergerak atau berucap sedikitpun. Kelu dan begitu nyeri rasanya. Prilly hanya mampu melihat, pergerakan Ali yang mendekatinya lalu mengusap lembut pipi kanannya.
Cepat-cepat, Prilly menyingkirkan tangan Ali yang berada diwajahnya. Sedikit berteriak, gadis itu menegaskan. "Gue Prilly, Li. Bukan Kiara."
Prilly tidak tahu, apa yang terjadi pada diri Ali sekarang. Hanya saja, Prilly pernah membaca dan sedikit mengetahui ciri-ciri orang yang sedang mabuk.
Dan, ya, menurutnya. Ali mabuk.
"Kenapa Lo nolak Gue sih, Ra?"
Prilly mengerutkan dahinya bingung. Tidak mengerti ranah pembicaraan Ali saat ini.
Satu yang Prilly tahu, Ali melihatnya sebagai sosok Kiara. Bukan Prilly. Dan Prilly mulai paham, bahwa apa yang sejak tadi keluar dari mulut Ali adalah tentang dirinya dan Kiara. Pantas, Prilly tidak mengerti.
"Gue sayang sama Lo, Ra. Sayang banget. Kenapa Lo nggak ngerti, sih?"
Ali kembali merancau lagi. Dari intonasi yang Prilly dengar, suara Ali begitu lembut. Tidak ada bentakan sama sekali. Pemuda itu seperti tidak ingin menyakiti Kiara, barangkali hanya dengan suara.
Prilly sakit. Ia ingin pergi. Kembali menjauh seperti yang tadi Ia lakukan. Tapi perasaan sayang gadis itu kepada Ali yang terlalu dalam, membuat Prilly mengurungkan niatnya itu. Prilly tidak bisa meninggalkan Ali, sekarang. Terlebih, ketika sorot mata Prilly jatuh pada tangan kanan Ali yang terluka. Luka berdarah seperti bekas menghantam kaca.
"Ali, tangan Lo berdarah!" ucap Prilly panik seraya mengangkat tangan kanan Ali. Melihatnya lebih detail, sebelum pada akhirnya Prilly menarik paksa lengan Ali dan membawa pemuda itu untuk masuk kekamar. Ali harus segera diobati.
"Ra.."
"Kenapa Lo gamau ngasih Gue kesempatan buat bisa milikin Lo lebih dari sekedar kakak ke adeknya."
"Kenapa, Ra. Kenapa.."
Prilly tidak peduli dengan apapun rancauan Ali yang sejak tadi menjejali telinganya. Prilly menganggap itu hanya angin lalu, karena fokusnya kini hanya pada luka Ali yang terus Ia obati. Meski sejujurnya, Prilly tidak mengelak bahwa hatinya terasa sakit hingga Ia tak kuasa menahan air matanya.
Dan memikirkan, apa yang terjadi diantara Ali dan Kiara hingga Ali sehancur ini.
Jadi, sebesar itukah cinta Ali untuk Kiara?
Setelah menutup luka di tangan Ali dengan perban, artinya Prilly sudah selesai mengobati Ali. Gadis itu bersiap bangkit, dan hendak menyiapkan makanan. Namun, bukan untuknya. Untuk Ali. Karena sebelum kemari, Keano sempat mengajaknya makan bersama terlebih dahulu tadi. Tujuannya, agar Prilly dapat langsung istirahat setelah sampai.
Melihat kondisi Ali yang memprihatinkan, Prilly yakin, pemuda itu belum menyantap makanan apapun. Sehingga Prilly khawatir jika Ali akan jatuh sakit.
"Gue kedapur dulu, siapin Lo makan. Lo baik baik disini, ya." Ujar Prilly lembut sebelum pada akhirnya, Ia benar benar beranjak dan hendak melangkah.
Sayangnya, belum sempat Prilly melangkah ada sesuatu yang menahan pergelangan tangannya. Prilly menoleh. Mendapati Ali yang menggenggam tangannya seraya menatap kearahnya memohon. "Jangan tinggalin, Gue.."
******
A/N : Minal aidzin walfaidzin gais. Maaf ngenext nya suka ngaret parah. Maaf ceritanya bikin kzl dan bosen. Maaf maaf maaaf yaw.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT SCANDAL
FanfictionHidup dalam keluarga yang jauh dari kata harmonis, membuat Prilly Axelia enggan untuk jatuh cinta pada siapapun untuk alasan apapun. Bahkan, Ia juga tidak percaya akan adanya cinta. Sampai pada suatu saat, takdir menyadarkannya akan cinta melalui A...