Setelah lama Ali dan Kiara menghabiskan waktu mereka di Taman Kota. Hingga waktu sudah melewati tengah hari, membuat keduanya memutuskan untuk sekalian makan siang terlebih dulu disana. Tadinya, Ali ingin mengajak Kiara untuk makan di restoran cepat saji ternama di kawasan ibukota, namun Kiara menolak. Gadis itu memang benar-benar tipe cewek sederhana dan tidak suka hal-hal yang terlalu berlebih.
Akhirnya, Ali mengalah. Ia menuruti permintaan Kiara.
Kurang lebih satu jam, keduanya sudah berada disini. Menyantap soto betawi yang kini menjadi menu makan siang bagi keduanya.
"Udah?" Tanya Ali pada Kiara yang kini tengah menutup posisi sendok, dan menjauhkan mangkok bekasnya. Pertanda bahwa Ia sudah selesai makan.
Kiara tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya kemudian mengangguk. "Udah. Tapi tunggu, Gue mau minum ini dulu."
Detik berikutnya, Kiara mengambil sebuah botol dari dalam tasnya. Botol tersebut berwarna biru cerah, sedikit transparan. Menjadikan Ali dapat leluasa melihat bahwa didalamnya berisikan beberapa butir tablet yang berlari kesana kemari. Ali yakin salah satunya akan Kiara minum saat ini. Didepannya.
Ali memperhatikan dengan seksama, bagaimana tangan Kiara terlihat lihai ketika memasukkan tablet itu kedalam mulutnya.
Barulah setelah Kiara selesai menegak air mineral yang membantunya menelan tablet itu, Ali besuara. "Harus banget ya, minum itu terus?"
Kiara mengangkat botol tersebut hingga kedepan wajahnya. Ia tertawa, tawanya hampir secerah siang ini. "Iya. Lagian ini juga cuma vitamin biasa, kan.."
Ali menghela napasnya berat, kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Tatapannya, tetap jatuh pada Kiara.
Ini bukan kali pertamanya Ali bertanya. Ia sudah sering menanyakan hal ini, namun tetap saja jawaban Kiara sama. Itu hanya vitamin, begitu katanya.
Dulu ketika Ali kecil, jawaban Kiara itu sudah cukup memuaskan baginya. Sekarang, tidak lagi. Dirinya sudah dewasa. Dan tidak lagi merasa cukup hanya dengan jawaban Kiara yang menurutnya klasik.
"Kan Gue nggak doyan makan sayur, makanya harus rutin minum ini. Biar komponen gizi yang diperluin sama tubuh, tetep tercukupi." Lanjut Kiara yang sepertinya berhasil meyakinkan Ali.
Ali menegakkan posisi duduknya, memajukan tubuhnya lebih condong kearah Kiara. Ia mengacak gemas rambut depan milik adiknya itu, "Nggakmau tahu, pokoknya besok Lo harus makan sayur. Gue yang bakal masakin Lo."
Tawa Kiara lepas, mendengar penuturan Ali. Dirinya tahu persis bahwa Ali tipe cowok yang tidak bisa masak. "Coba aja, kalo bisa.."
*****
"Jadi, semuanya karena Ali?" Aulia menoleh dan menatap selidik kearah Prilly yang kini sedang sibuk mengompres bagian matanya yang sembab.
Tak berselang lama setelah Ali dan Kiara pergi, Prilly segera bersiap dan meluncur ke rumah Aulia. Sarapan yang tadi Kiara buatkan, juga tak lupa Ia bawa sebagai bekal. Bagaimanapun juga, Prilly harus menghargai niat baik Kiara yang sudah membuatkannya sarapan.
Dan saat ini, keduanya tengah bersantai didalam kamar tidur Aulia. Keadaan Prilly, jauh lebih baik daripada kemarin, saat terakhir kali dirinya kesini. Tidak ada lagi tangis sehingga Ia mulai dapat menceritakan segalanya pada Aulia, tanpa terkecuali.
Namun, sembab itu masih tercetak jelas di kedua pelupuk mata Prilly. Membuat Gadis itu, harus repot-repot mengompres bagian matanya, seperti sekarang.
"Hmm.."
"Tuh kan, Gue bilang apa. Lo suka kan, sama dia?" Aulia kembali bersuara. Lebih keras. Dan terdengar begitu menusuk. Gadis itu lantas bergerak mendekatkan dirinya pada Prilly, memandang wajah ayu sahabatnya yang kini mengangguk.
Mengakui fakta yang selama ini selalu saja Ia elak, Ia jatuh pada Ali. Jatuh terlalu jauh.
"Sampe sekarang, Gue juga nggak nyangka. Bisa ya, Gue jatuh cinta sama Dia."
Aulia mendengus, memandangi Prilly yang ada dihadapannya dengan tatapan mengiba. Aulia tidak menyangka, bahwa teman terbaik dihidupnya tidak memiliki nasib percintaan yang cukup baik. "Cinta emang kadang selucu itu, sampe suka bikin nangis."
Prilly terkekeh, membuat Aulia yang melihatnya terasa teriris. Hatinya terasa linu melihat tawa paksa Prilly seperti ini. "Gue kira cuma bokap Gue doang yang bisa bikin nangis, ternyata Ali juga bisa."
"Tapi Gue nggak nyesel kok jatuh cinta sama Ali, dia sosok yang baik. Sosok laki-laki terbaik dihidup Gue,malah."
"Sama siapapun Lo, Gue selalu berharap itu yang terbaik buat Lo, Pril. Gue sayang sama Lo, sayang banget. Jangan ragu buat berbagi apapun sama Gue ya?"
Dan keduanya melebur dalam sebuah pelukan hangat, seorang sahabat.
*****
Ali dan Kiara kini sudah tiba dirumah sejak beberapa waktu yang lalu, saat langit mulai menggelap pertanda hujan akan segera tiba. Kiara duduk disofa, tepat disamping Ali yang kini sedang menyesap Hot Chocolate buatan dirinya. Kehadiran Ali dirumah Kiara seperti ini, membuat Kiara merasa senang. Rasanya Ia ingin memberhentikan waktu, sekarang. Agar Ali tetap disisinya selamanya.
"Ini enak banget sumpah. Rasanya tetep sama kaya dulu. Padahal Gue kira Lo bakalan lupa gimana cara bikin Hot Chocolate, semenjak Gue mutusin buat tinggal di appartement."
Kiara tertawa kecil, lalu berhamburan memeluk lengan milik Ali. Kemudian menyandarkan kepalanya disana. Mencari posisi senyaman mungkin, bagi gadis itu. "Enggak bakal, lah. Durhaka banget Gue, kalau lupa sama menu favourite Lo, Kakak Gue tersayang."
Ali menghela nafas berat, meletakkan secangkir Hot Chocolate pada meja kecil yang tak jauh dari sofa. Kemudian, tangannya Ia biarkan untuk bergerak bebas menyentuh rambut Kiara. Membelainya lembut.
Kakak Gue tersayang.
Otak Ali bergumul, mendengungkan kembali perkataan Kiara yang mendeklarasikan bahwa Ali hanyalah seorang Kakak dimatanya.
Itu fakta. Dan Ali tahu. Namun entah mengapa, ada bagian dari dirinya yang merasa sakit dengan embel-embel kata kakak yang selalu saja Kiara ucapkan.
"Kiaranya tidur, Li?"
Entah bagaimana, tiba tiba Diva datang. Mengagetkannya lalu berhasil menghalau jauh pikirannya sepersekian detik lalu. Ali mendongakkan wajahnya, kearah Diva. Lalu beralih menatap Kiara yang bersandar pada lengannya. Iya, gadis itu tertidur pulas dengan senyuman yang membuatnya tampak manis.
Kiara memang seperti itu, Dia mudah tertidur bila sudah berada ditempat yang Ia rasa cukup nyaman. Salah satu tempat ternyaman baginya, didekat Ali.
"Eh iya, tidur. Lucu ya, Ali udah lama enggak liat Kiara tidur kayak gini."
Diva tersenyum, lalu turut duduk disamping Ali. Ia memperhatikan anak sulungnya yang juga tengah sibuk memperhatikan anak bungsunya. Diva sadar. Ia cukup tahu, bahwa selama ini ada yang berbeda. Ali menyayangi Kiara, lebih dari kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. "Kamu sayang sama Kiara, ya?"
Ali membenahi posisi tidur Kiara, agar lebih nyaman. Kemudian, manik matanya beralih menatap Diva yang kini juga menatapnya. Ali terkekeh geli mendengar pertanyaan mamanya yang menurutnya tidak perlu dipertanyakan. "Iya, lah. Pasti. Ali sayang banget sama Kiara, adek Ali satu-satunya."
"Bahkan, Kamu juga sayang sama Kiara lebih dari itu, kan? Lebih dari sekedar kasih sayang Kakak ke Adiknya."
Diva tersenyum melihat perubahan gurat wajah Ali yang menegang. Dengan sentuhan lembutnya, Diva mendekat. Membiarkan sisi keibuan dirinya menenangkan Ali. "Ali, mama ini mama Kamu. Mama tahu semuanya, termasuk perasaan Kamu terhadap Kiara selama ini."
Ali terkesiap. Dunianya, seakan terhenti. Jantungnya, seolah berhenti berdetak dan perlahan mencelos dari kedudukan semula.
Entah mengapa, oksigen yang berada disekitar Ali, juga turut terasa menghilang begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT SCANDAL
FanfictionHidup dalam keluarga yang jauh dari kata harmonis, membuat Prilly Axelia enggan untuk jatuh cinta pada siapapun untuk alasan apapun. Bahkan, Ia juga tidak percaya akan adanya cinta. Sampai pada suatu saat, takdir menyadarkannya akan cinta melalui A...