Prilly menyandarkan punggung belakangnya pada pintu. Gadis itu memejam, mencoba menghilangkan kekhawatirannya terhadap Ali. Namun nyatanya gagal, Ia tak bisa berhenti memikirkan Ali yang tidak jelas malam ini akan tidur dimana.
Bagaimana kalau Ali kedinginan, lantas sakit? Ah, jangan sampai.
Cepat-cepat, Prilly kembali membuka pintu kamarnya. Gadis itu sedikit berteriak ketika melihat derap langkah Ali yang kian lama berjalan menjauhi kamarnya, "Ali!"
Berhasil, sang pemilik nama menghentikan langkah kakinya dan menoleh kearah Prilly, yang tadi memanggilnya. Ali bisa melihat dengan jelas, bagaimana gadis itu berlari kecil kearahnya, "Lo kenapa?" tanya Ali begitu gadis itu telah sampai didepannya.
Prilly tersenyum manis dan menggeleng pelan, terlihat lucu. "Nggakpapa sih, Gue cuma nggak bisa tidur aja. Lo udah mau tidur ya?" Begitu nanti jawaban Ali adalah iya, maka Prilly akan lebih dulu memastikan dimanakah Ali akan tidur. Bila tempat tersebut cukup jelas, maka Prilly juga akan dapat langsung menyusul Ali kealam mimpi.
"Nggak, sih. Gue mau ke rooftop dulu, ngeliat kerlap kerlip lampu gedung pencakar langit gitu sambil natap bintang. Ditambah, minum kopi juga. Mau ikut?" Tawaran Ali membuat Prilly membulatkan matanya sempurna. Sontak, secara refleks Ia mengangguk sebagai pertanda bahwa Iya mengiyakan ajakan Ali.
Tak ingin membuang waktu, Ali segera menggenggam tangan kanan Prilly. Mengisi jemari Prilly dengan jemarinya, lalu keduanya berjalan beriringan menuju rooftop.
Hening, keduanya sama-sama diam. Ali terlihat sibuk menikmati pemandangan indah yang kini terpapar jelas dihadapannya, sementara Prilly sibuk berpikir mengenai gadis cantik yang tadi Ali bersama Ali.
Prilly menerka-nerka siapa gadis itu, melihat bagaimana perlakuan tadi, Prilly meyakini bahwa gadis itu begitu berarti bagi Ali.
"Kok bengong sih, Lo?"
Prilly dibuat kaget oleh tangan Ali yang bergerak kekanan dan kekiri didepan Prilly, ditambah dengan suara pemuda itu yang tiba-tiba langsung mengenyahkan lamunan Prilly. "Eh"
Ali tersenyum, "Mikirin apasih?" kemudian fokusnya kini beralih kepada Prilly. Tidak lagi pada panorama indah didepannya, entah mengapa Ali meyakini bahwa gadis itu tidak dalam keadaan baik.
Prilly semakin gelagepan ketika fokus mata Ali, terpusat pada dirinya. Salah tingkah, dan tidak tahu harus bagaimana. Begitulah yang dirasakan Prilly, haruskah Ia jujur?
"Cewek tadi itu-"
Belum sempat kalimat Prilly terselesaikan, Ali telah menepuk keras jidatnya sambil berseru, "Oiya Gue lupa ngenalin."
"Dia itu, Kiara. Adek Gue." Tutur Ali dengan senyuman tipis yang begitu terlihat menawan di mata Prilly.
Mendengar pernyataan Ali yang menyatakan bahwa Kiara adalah adeknya, membuat Prilly mampu bernafas lega. Dan nyeri diulu hatinya, perlahan memudar. "Adek kandung?"
Detik berikutnya, Ali tak lagi menatap Prilly karena pandangannya menerawang jauh kedepan sambil sesekali Ia menyesap secangkir kopi yang masih berada digenggamannya.
Meskipun tak lagi menatap Prilly, namun Prilly masih terus memusatkan matanya untuk melihat wajah Ali yang saat ini terbingkai jelas di iris matanya bahwa pemuda itu menggeleng, "Bukan, Dia bukan adek kandung Gue."
Tepat setelah Ali menyelesaikan kalimatnya, Prilly merasa oksigen yang ada disekitarnya, mendadak hilang begitu saja.
Lalu ribuan belati seolah menghantam telak bagian dadanya, menyisakan luka yang perihnya tak terkira. Namun sebisa mungkin, Ia mencoba untuk tidak menangis mendengar kelanjutan dari penjelasaan Ali.
"Awalnya Gue cuma anak Panti Asuhan yang nggak jelas asal usulnya kaya gimana, terus diangkat anak sama Mama Diva dan Papa Ryan. Meskipun kaya gitu, Mama sama Papa tulus banget sayang sama Gue, persis kaya mereka yang begitu sayang sama Kiara. Mereka ngebiayain semua kehidupan Gue dengan cuma-cuma. Dari mulai sekolah, makan, mainan, sampai fasilitas lainnya. Mereka emang baik banget, dan Gue sayang banget sama mereka."
"Sama Mama Diva, Papa ryan, dan juga sama.."
Jeda sejenak.
Sebelum pada akhirnya, Ali mengucapkan satu kata, satu nama, yang begitu bermakna. "Kiara.."
Ali tak langsung melanjutkan kalimatnya. Ia lebih memilih untuk menghela nafas dalam-dalam. Sementara Prilly, diam memberikan waktu bagi Ali sejenak. Ia tahu, ini tidak mudah.
"Dari kecil, Gue emang deket banget sama Kiara. Kita selalu ngelakuin banyak hal sama-sama. Dan entah kenapa, Gue selalu ngerasa punya tanggung jawab buat selalu ngejagain dia dari apapun. Gue sayang sama dia, dan Gue bener-bener akan memusnahkan siapapun yang berani nyakitin dia. Gue bisa pastiin itu." Sambung Ali yang tanpa pemuda itu sadari, begitu menyakiti hati Prilly.
Prilly sakit, Ia sakit menerima kenyataan bahwa Kiara begitu spesial dihidup Ali. Tidak seperti dirinya, yang bukan apa-apa bagi Ali.
Namun Prilly tetaplah Prilly, Dia kuat dan cukup tegar. "Segitu sayangnya ya sama Kiara?"
Ali mengangguk mantap dan kembali menatap Prilly, meyakinkan gadis itu bahwa rasa sayangnya pada Kiara tidak main-main.
Sementara yang ditatap, justru tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya ke langit lepas, Ia hanya ingin menahan airmatanya agar tidak tumpah. Ia tidak ingin Ali tahu bahwa dirinya sakit. "Sampai tanpa sadar, Lo jatuh cinta sama Dia?"
Pertanyaan Prilly terasa menohok kerongkongan Ali, hingga membuat pemuda itu merasa tercekat dan kesulitan bernafas. "Lo tau?"
Prilly terkekeh, dan tersenyum ringan kearah Ali yang kini menatapnya tak percaya. "Keliatan kok, jelas."
"Gue nggak tahu rasa itu mulai ada kapan. Tapi yang jelas untuk sekarang dan selamanya, bahagia Gue itu ya Dia. Tapi Gue tahu, kita nggak akan mungkin bisa sama-sama. Karena ya, keadaannya kayak gini. Segimanapun sikap dan tatapan Gue ke Dia, itu semua nggak akan pernah Dia anggep lebih dari seorang kakak ke adeknya."
"Dan kalau Lo mau nanya, alasan kenapa Gue tinggalnya misah sama mereka adalah karena Gue mau berusaha buat ngilangin rasa ini. Ngilangin rasa yang semakin harinya justru semakin besar. Sampai pada akhirnya Gue sadar, kalau mungkin rasa ini akan abadi."
Fakta ini memang menyakitnya. Bagaimana Ia tahu bahwa orang yang begitu Ia cintai, mencintai sosok lain yang bukan dirinya. Namun melihat raut wajah Ali yang sesedih ini menceritakan perihal hubungannya dengan Kiara, seakan menggores hatinya lebih dalam.
Prilly sakit ketika melihat Ali sakit seperti ini.
Dengan segala keberanian yang ada, Prilly menggenggam kedua tangan Ali erat-erat hingga sang empunya menatapnya bingung. Sementara Prilly, hanya tersenyum tanpa melepaskan genggaman eratnya. "Jangan nyerah buat perjuangin, Kiara. Gue yakin, Lo bisa ngedapetin Dia. Dan kalian akan bahagia, kaya endingnya Disney gitu."
Diluar dugaan, Ali justru menarik Prilly kedalam pelukannya. "Lo juga, ya. Bahagia terus. Jangan sedih, jangan nangis. Gue sayang Lo, Pril.." Prilly mendengar jelas bagaimana untuk pertama kalinya, Ali mengucapkan bahwa dirinya menyayangi Prilly.
Meskipun gadis itu tahu, bahwa itu tidak berarti apapun bagi Ali. Namun Prilly cukup senang, dan diam-diam Ia mengulum senyum sempurna sembari menikmati dada bidang Ali yang membuat jantungnya semakin berdebar kencang. Berdegup hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT SCANDAL
Fiksi PenggemarHidup dalam keluarga yang jauh dari kata harmonis, membuat Prilly Axelia enggan untuk jatuh cinta pada siapapun untuk alasan apapun. Bahkan, Ia juga tidak percaya akan adanya cinta. Sampai pada suatu saat, takdir menyadarkannya akan cinta melalui A...