Prilly membolak balikan buku catatan milik Aulia yang sempat Ia fotocopy tadi, sebelum dirinya kembali ke appartement Ali. Ini sudah lebih dari 2 jam, Prilly terus mencerna setiap kata yang Aulia tulis disana. Dan itu membuat kepala Prilly terasa ingin pecah, dan membuncahkan segala isinya. Kalau saja besok Bu Lina tidak mengadakan kuis, Prilly tidak akan membiarkan catatan Aulia dan banyak buku lainnya tergeletak memenuhi kasur. Membuat ranjang empuk itu, terlihat seperti lautan buku yang menjijikkan.
Alunan lagu Closer milik The Chainsmoker menjadi pengiring mata Prilly dalam memperhatikan sekian ribu huruf yang membuat matanya terasa panas. Prilly lelah, dan menguap untuk beberapa saat.
Nyaris saja Gadis itu mengatupkan rapat matanya, bila saja tidak ada suara pintu yang dibuka dengan begitu kencang. Diikuti dengan teriakan keras yang begitu memekakkan. "PRILLY AXELIA PUTRI!"
Prilly terbelalak kaget, melihat sosok Ali yang kini bergerak kearahnya. Pemuda itu menjatuhkan tubuhnya pada kasur yang juga tengah ditiduri Prilly, tanpa peduli dengan beberapa buku milik Prilly yang berjatuhkan sembarang karena ulahnya. Ia sibuk terlentang. Menatap langit-langit kamar Prilly dan tersenyum.
"Anjir, apaan nih. Lo ngebuat buku-buku Gue berceceran, Ali. Minggir, Gue lagi belajar. Besok kuis, nih!"
Prilly berteriak frustasi. Mengubah posisinya yang semula tengkurap menjadi merangkak dan duduk disamping Ali. Ia menoyor kepala pemuda itu, agar berhenti tersenyum.
Demi apapun, senyuman Ali itu berpotensi dapat membuat jantung Prilly melompat keluar, saking menawannya.Sayangnya, langkah Prilly salah. Bukannya minggir, Ali justru menahan tangan Prilly dan menggenggamnya. Tatapan Ali jatuh pada fokus mata Prilly. Dan untuk beberapa saat, waktu seolah terhenti.
Sebelum pada akhirnya, Ali bangkit. Entah bagaimana, pemuda itu tiba-tiba melingkarkan tangannya pada tubuh Prilly. Memeluk erat Prilly. Begitu erat, hingga leher jenjang Prilly, dapat merasakan hembusan nafas Ali yang menyapu permukaan kulitnya. "Gue seneng banget. Mama Diva tahu tentang perasaan Gue ke Kiara, Pril. Dan dia, ngerestuin Gue buat bisa sama Kiara."
"Gue nggak tahu harus ngomong apa lagi, yang jelas Gue seneng setengah mati, sekarang."
DEG
Prilly tersentak. Dadanya terasa terhempas kuat akibat suatu pukulan yang menghantamnya telak. Pukulan kuat yang menyebabkan nyeri berlebih.
Matanya memanas seiring dengan usahanya untuk mengatur deru nafasnya yang memburu.
Prilly sakit, terlalu sakit untuk menerima kenyataan ini.
Ia mengerjapkan matanya. Beberapa kali sampai ia benar-benar yakin kalau tadi itu suara Ali. Dan semuanya nyata terjadi. "Hh?"
Ali melepaskan pelukannya. Menatap Prilly lebih lekat dalam jarak yang begitu dekat. "Iya. Dan dalam waktu dekat ini, mungkin Gue bakal nembak Dia. Lo mau bantuin Gue, kan?"
Prilly mengangguk. Mengiyakan permintaan Ali. "Hm.."
"Makasih, Gue sayang banget sama Lo." Sekali lagi, Ali memeluk Prilly. Lebih erat. Dan juga dengan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya.
Prilly harap, setelah ini Ali akan keluar dari kamarnya. Demi apapun, Prilly tidak lagi kuat untuk mengontrol dirinya untuk tidak menangis.
Ini menyakitkan, sungguh.
Prilly melepas paksa pelukannya terhadap Ali. Ia tidak ingin airmatanya tumpah dibahu pemuda itu. Prilly tidak ingin, lukanya mencampuri kebahagiaan Ali. "Buruan keluar sana, Gue mau tidur. Besok ada kelas pagi."
Ali tersenyum. Tangannya menepuk-nepuk sebuah bantal, mengisyaratkan agar Prilly tidur disana. "Tidur aja, nggakpapa. Gue masih mau disini, sama Lo. Tapi tenang aja, Gue nggak akan ngapa-ngapain Lo, kok."
"Yaudah.."
Prilly mulai memposisikan dirinya untuk tidur pada tempat yang tadi diisyaratkan Ali. Ia membiarkan Ali juga ikut berbaring disampingnya. Toh, jika boleh jujur Prilly tidak benar-benar ingin Ali pergi. Prilly ingin Ali disini, bukan hanya menemaninya dikamar ini. Melainkan juga menemani hidupnya.
Tapi Prilly sadar, itu hanya pikiran bodoh. Keinginannya itu terlalu berlebih.
Ali menoleh kearah Prilly yang kini secara bertahap mulai mengatupkan matanya. Gadis itu terlihat tenang, dan lucu. Menggemaskan, persis seperti anak kecil. Terlebih tidak ada lagi raut sinis, jutek, dan tidak bersahabat diwajah Prilly.
Setelah dirasa Prilly sudah benar-benar terlelap. Ali memiringkan posisi tubuhnya menghadap Prilly. Salah satu tangannya, Ia kibaskan kekanan dan kekiri tepat diwajah Prilly. Memastikan saja, apakah Prilly sudah pergi kealam mimpi, atau belum.
Great!
Ketika Ali sudah meyakini bahwa Prilly sudah berada dialam bawah sadarnya. Ia beranjak dari posisinya, duduk disamping ranjang Prilly. Dengan telaten, Ali menarik selimut sampai sebatas dada. Kemudian terdiam sejenak, sambil tersenyum.
Perlahan, tangan Ali tergerak untuk menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Prilly. Merapikannya hingga kini Ali dapat leluasa memandangi wajah Prilly yang cantik.
"Gue nggak tahu, harus ngomong ini dari mana. Gue sendiri nggak ngerti, sama apa yang selama ini Gue rasain. Seandainya lo tahu, gue selalu ngerasa seneng setiap ada dideket lo. Gue nggak pernah peduli, mau kita berantem, adu mulut, saling hina, atau gimana. Gue tetep seneng, dan ngerasa nyaman." Ali menghela nafas, sebelum melanjutkan kalimatnya. Tangannya Ia biarkan terus menjalar meneliti wajah Prilly, dan berhenti pada pipi gadis itu. Ali mengusapnya lembut.
"Perkenalan kita emang singkat, dan enggak seharusnya gue ngerasain perasaan alay kaya gini." Sedikit ragu, Ali kembali bersuara. "Gue emang udah terlanjur sayang sama Kiara. Tapi Gue nggak bisa bohong, kalau perasaan yang semula Gue rasa cuma rasa nyaman biasa karena Gue ditinggal Kiara. Perasaan ala kadarnya yang Gue kira enggak akan berakar sekarang justru berkembang menjadi perasaan yang lebih serius. Dan perasaan itu, tertuju buat Lo."
Jeda sejenak. Ali menghela kembali nafasnya, lebih dalam dari sebelumnya. "Seandainya perkenalan kita enggak terlambat, mungkin kita bisa lebih dari sekedar sahabat."
Ali terkekeh, berusaha menetralisir perasaannya kembali. Ia tidak ingin, perasaannya itu kelak akan melukai Kiara. Gadis yang selalu berusaha Ali jaga, lebih dari Ia menjaga dirinya sendiri.
"Gue harap, suatu hari nanti.. Lo bisa bahagia, dengan sosok lain yang bukan Gue. Terus bahagia ya, Pril.. Karena Gue akan bahagia, ketika ngeliat Lo bahagia."
Dan entah dorongan dari mana, Ali bangkit. Ia mencondongkan tubuhnya pada tubuh Prilly. Membiarkan kepalanya mendekati wajah Prilly, dan mengecup sekilas kening Prilly. "Nice dream. Have a sweet rest."
Diam-diam, Ali mengakui sesuatu yang bergejolak didalam disana. Memaksa Ali untuk berbisik "I love you, Prilly Axelia Putri."
Tepat setelah kalimat itu lolos Ia tuturkan dalam satu tarikan nafas, Ali beranjak pergi. Perlahan, Ia menjauhi ranjang Prilly dan menghilang dibalik pintu kamar Prilly yang Ia tutup perlahan.
Dan ketika suara decitan pintu tertutup itu terhenti, Prilly membuka kembali kelopak matanya. Iya, Prilly bohong. Gadis itu tidak benar-benar tertidur. Dirinya hanya tidak ingin tahu lebih banyak mengenai Ali dan Kiara yang akan menggoreskan luka lebih dalam bagi dirinya.
Prilly mengusap kembali pipi yang semula Ali sentuh, air matanya sudah luruh disana. Ia merasa tangannya basah, seiring dengan munculnya kembali suara kalimat-kalimat Ali sepersekian detik lalu dipikirannya.
Ali benar, seandainya Ia lebih dulu hadir, tentu saat ini Ia akan berada di posisi Kiara. Gadis yang begitu Ali cinta.
Sekali lagi, itu hanya seandainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT SCANDAL
FanficHidup dalam keluarga yang jauh dari kata harmonis, membuat Prilly Axelia enggan untuk jatuh cinta pada siapapun untuk alasan apapun. Bahkan, Ia juga tidak percaya akan adanya cinta. Sampai pada suatu saat, takdir menyadarkannya akan cinta melalui A...