[24] Nembak Kiara?

4.8K 609 48
                                    

Pagi ini, Prilly terlihat cantik dengan mini dress putih dengan corak biru yang membalut tubuh mungilnya. Rambut hitam legamnya, Ia biarkan tergerai lepas dan menari kesana kemari seirama dengan langkah kakinya yang berjalan menuju ruang makan.

Sesampainya ditempat yang Ia tuju, mata hazel indah miliknya memicing sejenak. Pasalnya, Ali tidak ada disana. Bahkan, menu sarapan buatannya yang sudah siap sedia diatas meja makan pun terlihat masih utuh. Jelas, itu artinya belum tersentuh sama sekali.

Biasanya, ketika Prilly mencapai ruang makan, Ali sudah lebih dulu berada disana. Dan terlihat sudah duduk seraya menikmati santapan pagi buatan dirinya.

Namun kali ini.. "Ali kan hari ini ada kelas pagi, dosennya pun killer nya minta diyasin in. Bisa mampus kalo Dia sampe telat."

Cepat-cepat, Prilly mengubah haluannya. Ia sedikit berlari, bergegas menuju kamar Ali. Pikiran buruk tentang Ali, mulai semrawutan hinggap dikepalanya.

Apakah Ali sakit?

Sakit apa pemuda itu?

Bagaimana kondisinya saat ini?

Apa kondisinya parah?

Hingga tanpa sadar, kini Prilly sudah tiba didepan ambang pintu kamar Ali. Rasa khawatir yang sudah mendomiasi dirinya, membuat gadis itu langsung menekan knop pintu, dan mendorongnya agar terbuka. Tanpa mengetuknya lebih dahulu.

Prilly tercengang, sebelum pada akhirnya bernafas lega karena pikiran buruknya itu tidak ada satupun yang benar benar terjadi.

Ali terlihat baik, bahkan sangat baik pagi ini.

Ali juga...

Terlihat begitu tampan, tampan. Sangat tampan, dan menawan dengan hoodie 3scnd yang membalut tubuh atasnya lengkap dengan jeans panjang juga sneakers adidas kebanggannya.

"Ngapain sih Lo, bengong disitu? Duduk tuh dipinggir kasur, tenang kasur Gue rapi kok." Ujar Ali yang kemudian dibalas anggukan oleh Prilly.

Prilly menuruti Ali, Ia memasuki kamar Ali lebih dalam lagi dan duduk dipinggir ranjang milik pemuda itu. Prilly tersenyum, ketika pandangannya kembali terhipnotis oleh pesona Ali yang saat ini sedang menata rambutnya didepan cermin.

Namun, Prilly buru-buru memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin, Ali memergoki dirinya sedang menatap Ali dengan tatapan memuja seperti sekarang.

Malu, kali.

Harga diri, bakal ditaruh dimana?

Prilly menghela nafasnya dalam dalam. Menetralisir degupan jantungnya yang selalu saja memburu setiap kali Ia berada didekat Ali. Gadis itu berusaha rileks, serileks mungkin. Ia melemparkan pandangannya menyapu seluruh kamar Ali.

Prilly dibuat kembali tercengang untuk kedua kalinya oleh Ali. Bukan, bukan karena paras Ali yang menawan. Namun karena, keadaan di kamar Ali yang benar-benar berbeda jauh, dan sangat jauh dari apa yang sempat Prilly perkirakan dan pikirkan.

Gagasan pertama yang ada diotak Gadis itu ketika memasuki kamar laki-laki ya sudah hukum alam.

Pasti, akan berantakan. Bau. Absur.

Pokoknya, jorok, deh.

Dan sekarang, Prilly benar-benar harus meralat kalimatnya saat Ia memasuki kamar Ali. Karena, itu tidak berlaku bagi Ali. Semua yang ada disini tampak begitu rapi dan tertata. Ruangan ini, benar-benar terasa begitu nyaman untuk ditempati.

Dan harus kembali Prilly akui bahwa, Ali memang berbeda.

"Udah puas, ngerasa takjub sama kamar Gue?" Suara khas Ali, benar benar membuat Prilly seketika menoleh. Menyadarkan Prilly dari rasa kagumnya yang berlebih.

Saat ini Ia Menemukan sosok Ali yang sudah rapi, dengan salah satu tangan yang Ia biarkan berada didalam saku celana jeans nya.

Sekali lagi, harus Prilly akui bahwa Ali benar benar tampan.

Meskipun sikapnya ya, begitu menyebalkan. Seperti saat ini, contohnya.

"Pasti kamar Lo, kalah rapi dari kamar Gue kan? Hayo, ngaku Lo!" Selidik Ali dengan menaik turunkan salah satu alisnya didepan Prilly.

"Apaan sih, Lo. Nggak penting. Liat kek, sekarang jam berapa. Udah siang ini!"

"Lo lupa, ha?! Hari ini itu, Lo ada kelas pagi."

"Dengan mata kuliah dari dosen tersayang, yang paling killer. Pak Edwin Wirata."

"Kalo Lo sampe tel-"

Omelan yang terus keluar dari mulut Prilly, mendadak saja terhenti ketika tangan kanan Ali merangkul Prilly. Mendekatkan tubuh Prilly ketubuhnya, hingga tak berjarak. Dengan posisi seperti ini, aroma musk milik Ali benar benar memasuki rongga hidung Prilly silih berganti.

Prilly benci mengakuinya, tapi Prilly tidak mengelak bahwa Ia menyukai aroma tubuh Ali.

Gadis itu selalu berandai, jika saja Ia menjadi Kiara. Pasti Dirinya akan bisa leluasa menikmati aroma tubuh Ali, dan dekapan hangat dari Ali seperti saat ini.

Namun fakta, selalu saja tak berpihak padanya. Seringkali, juga menamparnya dengan kenyataan yang menyadarkannya bahwa Ia bukanlah Kiara.

Dia adalah Prilly.

Iya Prilly, yang entah bagaimana..

Bisa mewujudkan sebagian kecil Andaiannya tentang Ali, sebagai sosok Prilly.

"Lo tuh ya, udah dandan cantik-cantik kaya gini. Jangan galak-galak kenapa, sih?"

"Nggak bosen, ngomelin cowok ganteng terus?"

"Gue sumpahin, ntar Lo naksir Gue. Mampus."

Prilly diam, mendengarkan celotehan Ali yang saat ini berubah menjadi tawa renyah yang menggelikan. Membuat dirinya, turut menyertai tawa Ali.

Ketika Prilly kini juga turut tertawa lepas, Ali justru yang berbalik diam. Pemuda itu, sibuk menatap setiap inci raut kebahagiaan yang tercetak jelas di wajah Prilly -dengan jarak sedekat ini.

Ali mulai merasakan, bagaimana kebahagian gadis mungil itu mampu menghangatkan hatinya. Dan membuat Ali, merasa jatuh semakin dalam untuk Prilly.

"Ketawanya udah, heum?" Tanya Ali seiring dengan tawa Prilly yang mulai mereda.

"Yaudah, yuk. Berangkat. Keburu kesiangan nanti." Ajak Ali yang kini mulai melangkahkan kakinya bersama Prilly menuju pintu keluar.

Ali menggiring langkah Prilly menuju mobilnya. Sebelum dirinya masuk, Ali lebih dulu membukakan pintu mobil disisi samping kemudi, dan mempersilakan Gadis itu untuk masuk dan duduk manis. Setelah itu, barulah Ali juga turut mengikuti gadis itu untuk masuk kedalam mobil. Dan mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Demi apapun, Ali ingin cepat sampai ke kampus. Ia tidak ingin terlambat, barangkali sedetikpun.

"Lo ngebut kaya gini, karena segitu engga mau telat ikut mata kuliah Pak Edwin ya?" Tanya Prilly.

Sementara Ali, menggeleng kuat lalu tersenyum cengengesan. "Sorry Gue bohong, sama Lo. Gue bukannya mau ikut mata kuliahnya Pak Edwin."

"Gue mau nembak Kiara hari ini. Semuanya udah siap, kok. Jadi Lo nggak perlu ngebantuin apa-apa."

Prilly tercekat, atas apa yang baru saja Ia dengar. "Hh?" Rasanya, setiap huruf yang menyusun perkataan Ali diatas, menohok tajam bagian dadanya.

Pada saat mobil yang mereka kendarai berhenti dilampu merah. Ali menoleh kearah Prilly, dengan senyum bahagianya. Ia mengulurkan tangan kirinya untuk menjangkau pucuk kepala Prilly lalu mengacak rambut gadis itu sekilas.

Sebelum pada akhirnya, Ali kembali membawa gadis itu kedalam dekapannya. "Lo cukup nenangin Gue aja pas nanti Gue nervous. Itu udah ngebantu Gue banget. Makasih, Prilly Axelia Putri."

Tanpa Ali ketahui, kebahagian Ali benar-benar menghancurnya Prilly. Gadis itu mengaku kalah, tepat ketika airmatanya menetes dipelukan Ali.

PERFECT SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang