Sembilan

72 3 0
                                    

RENA
Berulang kali aku melemparkan bola ke dalam ring, namun sudah hampir tiga jam aku berusaha, tak ada satu pun yang masuk. Aku berusaha melampiaskan kekesalanku.

"Ih! Hah... hah...."

Lelah yang kupikirkan. Aku ingin berhenti namun tetap saja kekesalanku tak lepas.

"Bener dugaan gue, ternyata lo disini," kata seseorang. Aku kenal suaranya, Vito. Aku kembali melemparkan bola basket ke ring namun tak berhasil.

"Rain, lo ngapain disini? Mama lo nyariin," kata Vito.

Aku tak menghiraukan Vito berbicara. Aku kembali melemparkan bola ke ring, lagi-lagi tak berhasil. Bola itu memantul dan menggelinding ke arah Vito. Saat aku akan mengambilnya, Vito malah mengambilnya.

"Siniin bolanya," kataku.

"Lo lagi kesel?" tanya Vito.

Aku menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya keras. Aku berusaha mengatur napasku. Aku duduk di tengah lapangan.

"Kok lo tau gue ada disini?" tanyaku.

"Tadi gue datang ke rumah lo, Mama lo bilang lo belum pulang. Tiba-tiba gue mikir mungkin lo ada di lapangan basket, eh ternyata bener," jawab Vito. Vito duduk di sebelahku.

"Lo lagi kesel sama siapa?" Vito mengulangi pertanyaannya.

"Kok lo tau gue lagi kesel?" tanyaku balik sambil menoleh ke arah Vito.

"Iya. Lo main basket sambil napsu kayak gitu. Makanya gak masuk-masuk. Jadi gue pikir lo lagi ngeluapin emosi lo. Biasanya kan lo kayak gitu," jawab Vito. Aku tertawa kecil.

"Gue lagi kesel sama Farida," kataku. Vito menatapku dengan pandangan seakan bertanya 'Kenapa?'.

"Dia cuekin gue dari pagi. Dan pas pulang sekolah gue tanya sama dia, kenapa dia cuekin gue? Dia jawab, dia iri sama gue," kataku.

"Iri? Kenapa?" tanya Vito.

"Gue gak tau apa yang ada di pikiran dia," kataku.

"Lo sabar aja palingan besok juga sembuh lagi," kata Vito.

"Masa?" tanyaku.

"Iya. Lo gak percaya sama gue? Rain, dengerin gue, lo sama Farida itu udah kayak anak kembar, nempel mulu. Jadi lo gak usah deh sedih gara-gara lo dicuekin sama si Farida. Karena apa? Karena Farida gak bisa hidup jauh-jauh dari lo," kata Vito sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Jadi ceritanya lo lagi ngehibur gue nih," kataku.

"Iya dong, gue sebagai temen yang baik, gak suka liat lo murung kayak gini," kata Vito.

"Sumpah, lo aneh banget kalo udah jadi orang baik," kataku dengan nada meledek.

"Jadi lo ngeledek gue," kata Vito. Ia mencubit kedua pipiku.

"Aduh... Vito, sakit tau!" seruku mengaduh kesakitan. Barulah Vito melepaskan tangannya dari pipiku.

Sejenak suasana hening. Tak ada pembicaraan di antara kami. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Satu menit kemudian Vito memanggilku.

"Rena," panggilnya. Ia masih tetap menatap bola basket yang sedang ia pegang sendari tadi.

"Hm," gumamku. Vito mendesah.

"Ada apa?" tanyaku sambil menatap heran Vito. Ia tampak gelisah.

"Rain, gue sayang sama lo," kata Vito. Ia tersenyum. Aku membalas senyumannya.

"Gue juga sayang sama lo. Sayang banget," kataku masih dengan senyuman di bibirku. Kulihat mata Vito sedikit membelalak.

"Gue sayang sama lo karena lo itu sahabat gue yang paling baik. Ya... walaupun lo itu kadang-kadang nyebelin," kataku.

Cerita Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang