Chapter 20

6 0 0
                                    

Zazkia menatap meja yang saat ini ditinggal oleh penghuninya. Tumpukan alat tulis masih tersusun rapi diatasnya. Pulpen dengan tinta warna warni menghias yang menandakan bahwa pemiliknya adalah sosok yang kreatif.

Namun meja itu tidak akan sama seperti dulu lagi. Meja itu telah ditinggal pergi oleh pemiliknya untuk selama-lamanya. Yah meja itu adalah meja Putra.

Zazkia yang mendengar kabar kecelakaan Putra tidak menyangka hal itu terjadi. Malam dimana dirinya menemani Putra untuk membelikan hadiah untuk istrinya ternyata adalah malam terakhir dirinya bersama Putra.

Malam itu Zazkia menunjukkan sikap acuh kepada Putra. Namun Putra seakan tidak peka dengan yang dilakukannya. Sikap itu juga yang membuat dirinya menyesal memperlakukan Putra di akhir hidupnya.

Zazkia tidak bisa membendung tangisan ketika menerima kabar kalau Putra tidak selamat. Tangisan yang tidak pernah dia keluarkan bahkan ketika orang tuanya meninggal. Dunia Zazkia seakan menjadi gelap dihadapannya. Dan ungkapan terbesar yang selalu melilit hati dan pikirannya tidak pernah dia utarakan walaupun sekarang dirinya tidak mengharap apa-apa jawaban dari Putra. Ungkapan yang mengungkapkan bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Putra.

Sekarang dia sendiri. Tidak ada lagi canda tawa Putra yang didengarnya. Tak ada lagi yang bisa dia marahi ketika kesal dengan seseorang. Baginya Putra yang selalu senyum dan menurutnya memiliki senyuman terindah kini telah pergi.

Situasi kantor terlihat mendung. Satu persatu bunga diletakkan di meja Putra sebagai tanda berkabung dan kehilangan seorang penulis dan editor di perusahaan tersebut. Pimpinan penerbitan mengatakan jangan pernah melupakan Putra. Penulis bisa saja mati tapi tulisannya tidak pernah mati. Itulah perkataan Pimpinan kepada semua karyawan atas kehilangan Putra.

Zazkia lebih memilih pulang lebih awal karena merasa tidak enak badan. Tetapi bukan tidak enak badan yang dirasakannya tapi tidak enak hati karena harus menahan tangisannya di kantor.

Zazkia merubuhkan badannya di kasur setiba dirumah. Kepalanya dibenamkan ke bantal namun tidak bisa menutupi suara tangisannya yang menyedihkan. Hatinya remuk seakan tidak ada lagi gairah hidup. Seandainya dirinya mengungkapkan itu. Seandainya Putra lebih peka. Kata-kata itu yang tergiang dikepala Zazkia. Zazkia pun jatuh terlelap karena lelah untuk menangis.

Pukul menujukkan jam sebelas malam. Suara berisik diruang tamu membangunkan Zazkia yang masih memakai baju kantor. Sudah berapa lama aku tertidur. Zazkia membatin dan suara itu muncul lagi. Dirinya berpikir apakah dia mengunci pintu tadi. Apakah itu pencuri. Zazkia mengendap-endap keluar dari kamarnya. Mengambil paying yang semoga bisa dijadikan senjata olehnya.

Zazkia perlahan menuju sumber suara dan memang ada pencuri. Namun sosok pencuri itu terlihat samar karena lampu dirumah itu tidak menyala. Hanya terlihat bayangan yang mondar mandir terlihat gelisah.

Apakah aku harus menyergapnya. Kata Zazkia dalam batinnya. Sambil memegang erat payung yang lumayan besar. Zazkia menghampiri pencuri itu dari belakang. Pencuri itu kelihatan rapi yang sempat membuat Zazkia berpikir mana ada pencuri yang berpakaian rapi.

Semakin dekat dirinya ke pencuri semakin jelas bahwa dirinya mengenal sosok itu walaupun hanya tubuh bagian belakangnya. Namun pikiran itu dikalahkan oleh rasa takut. Ketika Zazkia hendak mengayungkan payungnya untuk memukul pencuri itu. Pencuri itu berbalik.

Zazkia yang melihat pencuri itu dengan reflex menjatuhkan payung digenggamannya. Matanya terlihat kaget. Kakinya lemas dirinya jatuh ke sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Ini tidak mungkin" Kata Zazkia dengan sedikit terpekik dan tidak percaya."Kamu!"

Zazkia menunjuk pencuri itu. Pencuri yang dikenalnya namun rasa kagetnya membuat jantungnya berdegup kencang dan Zazkia pun jatuh pingsan.


Roccabianca - Love Is DangerousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang