5

8.3K 799 167
                                    

Selama delapanbelas tahun menjalani hidup, mungkin pagi ini menjadi pagi yang paling melelahkan bagimu. Sebut kau berlebihan, tapi memang kenyataannya begitu. Sudah hampir satu setengah jam kau terus berlari mengitari lapangan yang luasnya minta ampun. Menyesal, karena menyetujui ajakan Jongdae untuk lari pagi di hari Minggu.

Iya, Jongdae, pacarmu yang mendahuluimu di depan sana. Meninggalkanmu jauh di belakang karena sepertinya tenagamu sudah habis untuk mengatur tempo larimu yang bisa dibilang tak ada apa-apanya. Harusnya kau tahu resikonya, jika mengiyakan ajakan Jongdae untuk jogging di pagi hari bisa membuatmu kewalahan begini jika terus mengikuti tempo lari lelaki itu yang lebih cepat darimu. Terang saja, sudah beberapa bulan ini Jongdae rajin jogging di pagi hari, sedangkan kau, bangun dari tempat tidur saja rasanya tak rela setengah mati.

Kau memutuskan untuk duduk sebentar di salah satu bangku, meluruskan kakimu dan mengatur napasmu yang terasa akan habis. Berharap Jongdae tak menghampirimu di sini, karena kau yakin lelaki itu pasti akan mengejekmu sebelum mulai menyeramahimu untuk rajin olahraga.

"Pantesan lama." Yang diharapkan malah berbanding terbalik, karena sosok Jongdae dengan keringat yang membasahi rambutnya sudah berdiri di hadapanmu.

"Udahan ah, aku gak kuat."

"Itu tandanya kamu harus rajin olahraga. Kurang-kurangin magernya."

Tuh kan, bener.

Jongdae ini sebenarnya sangat perhatian sebagai kekasih. Namun cara dia menunjukkan perhatiannya dengan nasihat atau ceramah, justru membuatmu terkadang membantah apa yang dia sarankan. Ayolah, anak kecil zaman sekarang saja sudah berani membantah nasihat orangtuanya. Wajar kalau kau berperilaku sama pada seseorang yang notabene hanya berstatus 'pacar', kan?

"Pacar lagi sekarat gini malah diceramahin."

"Lebay. Yaudah, istirahat dulu."

Bukannya ikut duduk di sebelahmu, Jongdae malah lanjut lari meninggalkanmu dengan kecepatan sedang. Kau mulai mengumpat kesal dalam hati, Jongdae kadang tak bisa ditebak. Memberi perhatian, namun tak lama kemudian bersikap seolah-olah tak ada sikap perhatian yang baru saja ia berikan.

Biarlah, suka-suka Jongdae. Kau tak mau lagi memaksa otakmu untuk memikirkan apa yang akan Jongdae lakukan di saat tubuhmu kelelahan begini.

Napasmu sudah mulai teratur, dan berhenti berpikir negatif tentang Jongdae. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang mengarahkan sebotol air minum tepat di depan wajahmu. Jongdae kembali, dan ia tak benar-benar melanjutkan larinya tadi. Melainkan membelikanmu minuman dan menenteng plastik hitam berisi roti krim moka. Kau mengambil botol air minum tersebut, lalu menarik Jongdae untuk ikut duduk di sampingmu.

"Makasih, kirain kamu mau lanjut jogging tadi."

"Aku gak setega itu ninggalin kamu sendirian di sini. Tuh, kamu sampe pucet begini."

Tak ada lagi raut datar menyebalkan Jongdae, melainkan ia tampak begitu cemas saat menyeka keringat yang membanjiri dahimu dengan tisu yang ia beli tadi. Diakhiri dengan membiarkan tisu tersebut menempel di dahimu, sementara ia membuka bungkus roti untukmu.

"Capek banget ya?"

"Aku kan udah pernah bilang kalo aku paling gak kuat disuruh lari. Kamunya maksa ngajak aku jogging."

"Iya, maaf.. Makan dulu nih rotinya."

Ini yang kau maksud tadi, Jongdae tak mudah ditebak. Kali ini ia bersikap begitu manis setelah sebelumnya ia bersikap acuh tak acuh di depanmu. Ia merubah sikapnya secepat kau memandikan kucingmu.

"Dae.."

"Hm?"

"Capek.."

"Aku tahu."

Boyfriend MaterialsWhere stories live. Discover now