9

7.8K 781 101
                                    

"Kamu tuh kecapekan. Udah tahu gampang capek malah keasikan nugas ampe malem. Belom lagi telat makan, sekalinya makan pasti makanan instan. Gimana gak tipus?"

Begitulah apa yang dikeluarkan oleh mulutmu sejak duapuluh menit yang lalu. Sambil menyuapi Sehun di kamar rawatnya, bibirmu seakan tak bisa berhenti membanjiri Sehun dengan nasihat yang tak jauh-jauh dari kalimat barusan. Telinga Sehun mulai terasa panas, dan mungkin jika kau terus melanjutkannya sampai beberapa jam ke depan, Sehun yakin telinganya akan meledak. Sehun merasa tak adil di sini. Ia sedang sakit, dan yang ia butuhkan adalah perlakuan manis darimu. Bukan malah omelan non-stop begini.

"Kalo sampe dirawat gini, kan aku juga yang repot."

"Siapa juga yang nyuruh kamu repot-repot ke sini?"

Kau yang tadinya berniat menyendok makanan lagi, seketika terhenti dan melayangkan tatapan tajammu saat mendengar respon Sehun yang sungguh, sangat membuatmu ingin menamparnya. Sebenarnya kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Sehun. Mungkin saking kesal dan muaknya dengan ocehanmu yang intinya itu-itu saja. Tapi mau bagaimana lagi, ucapan tak bisa ditarik kembali. Dan Sehun merasa sangat gengsi untuk langsung meminta maaf.

"Oh, gitu? Nih, makan sendiri. Tangan lo masih utuh."

Kau menaruh kasar mangkuk yang sedaritadi kau pegang ke atas nakas, lengkap dengan wajah super jutekmu, juga tanpa panggilan sayang pada lelaki di hadapanmu. Jujur dari hati yang paling dalam, sifat Sehun yang seperti ini rasanya membuatmu ingin mencabut selang infus di tangan kanan Sehun secara brutal dan membiarkan lelaki itu kekurangan banyak darah. Namun karena kau masih memiliki hati, lantas yang kau lakukan hanya (sok) sibuk dengan ponselmu, dan membalikkan tubuhmu agar tak lagi menghadap Sehun.

Yang lebih menjengkelkan lagi, bukannya merasa bersalah, Sehun malah cekikikan melihat aksi ngambekmu yang selalu terlihat menggemaskan. Selalu begitu ketika kau marah, baik secara diam-diam atau bahkan terang-terangan menertawaimu. Sebenarnya ada untungnya juga Sehun membalasmu dengan kalimat yang tak kalah menyebalkan seperti tadi. Ia jadi bisa terus-terusan meledekmu seperti ini dan menikmati wajah kesalmu yang lucu selama beberapa menit.

"Yang, marah ya?"

"Ya menurut lo aja." Balasmu meninggi, tanpa berpaling dari layar ponselmu.

"Menurutku, kamu marah."

"Yaudah."

Sehun menahan tawanya sekali lagi. Namun sayangnya, kali ini kau menyadari bahwa Sehun menertawaimu diam-diam. Merasa dongkol, kau mengambil ranselmu dan beranjak dari tempatmu. Dan secara reflek, Sehun menahanmu begitu saja.

"Ehh, mau ke mana?"

"Balik."

"Masih marah? Kamu gak kasian sama aku sendirian di sini?"

Mendengar kata 'kasihan', kau berpikir kembali. Sebenarnya kau memang tidak ingin benar-benar pulang saat itu. Hanya sebagai gertakkan supaya Sehun bisa menempatkan posisinya pada keadaan dan berhenti bersikap menyebalkan.

"Lagian, dibawelin buat yang baik-baik bukannya nurut malah cengengesan. Salah sendiri."

"Iya iya, maaf. Aku keceplosan tadi. Maaf ya?"

Kau diam sebentar, menatap Sehun yang tak henti tersenyum jail menanti jawabanmu. Sebenarnya Sehun sudah yakin betul, sekesal apapun kau padanya, pada akhirnya kau juga akan mengangguk saat Sehun meminta maaf.

"Hm.."

"Bener dimaafin?"

"He'eh.."

Dan cengiran Sehun semakin lebar, menampakkan gigi taringnya yang khas. Ia lantas menggeser duduknya, menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya agar kau duduk di sana.

Boyfriend MaterialsWhere stories live. Discover now