Setiap orang pasti merasa bahagia jika bisa berkumpul dengan keluarganya. Namun, itu hanyalah angan yang tak mungkin terwujud. Gadis cantik yang memakai kaos lengan panjang itu terus mencoba tersenyum bermain dengan anak panti asuhan. Rasanya ia ingin sekali memeluk adiknya tetapi keluarganya telah berpulang ke tempat sang pemilik jagad raya. Di tempat sederhana penuh kehangatan itulah ia besar dan dididik. Setelah lama meninggalkan bangunan sederhana itu, ia tetap kembali menengok walau sebentar saja.
Gadis pemilik senyum manis ini berjalan menuju ruang pemilik yayasan. Di depan pintu ia melihat seseorang pemuda berpakaian layaknya santri dengan setelan baju koko dan pecis di kepalanya tengah duduk menghadap barat. Lelaki itu tengah berbincang-bincang dengan Ibu Salma. Tampaknya pemilik mata kecoklatan ini datang diwaktu yang tak pas. Perempuan itu hendak meninggalkan ruangan berwarna jingga itu. Namun, suara wanita paruh baya yang sangat lembut memanggil namanya membuatnya berhenti dan berbalik arah.
"Masuk saja, Ris!" perintah Ibu Salma dengan suara agak keras tetapi terdengar lembut.
Rissa pun langsung melangkahkan kakinya masuk. Ia dapat melihat dengan jelas sosok laki-laki yang membelakanginya tadi. Mata sipit itu tampak tak asing. Benar saja dirinya langsung mengingat bahwa lelaki itu adalah pengunjung kafe tempat ia bekerja. Namun, penampilannya sangat berbanding terbalik.
"Maaf kalau Rissa mengganggu, Bu," ujar Rissa yang sudah duduk di kursi jati berukiran teratai khas Jepara.
"Tidak. Nak Rasyid, perkenalkan ini Rissa. Emh, Rissa ini Nak Rasyid."
Ibu Salma mengenalkan Rissa pada pemuda itu dan gadis pemilik mata cokelat itu langsung mengulurkan tangan kanannya tetapi lelaki itu tak kunjung menjabat tangannya. Gadis itu pun menurunkan tangannya kembali. Semantara Rasyid tersenyum melihat tingkah Rissa yang menahan malu.
Rasyid menyatukan kedua tangannya di depan dada seraya mengujarkan namanya. Sekarang Rissa mengerti kenapa pria itu tak menjabat tangannya sama sekali. Gadis ini tahu bahwa lelaki itu mencoba menjaga wudhunya.
"Nama saya Rasyid," ujar Rasyid diiringi dengan senyum menawan. Jantung Rissa berdetak tak beraturan melihat senyum itu yang begitu manis. Bu Salma menepuk pundak Rissa pelan membuatnya tersadar dari kekagumannya terhadap pria bermata sipit itu.
"Iya, saya Arissa. Senang berkenalan dengan Tuan," ujar Rissa seraya mengatur kerja jantungnya.
"Jangan panggil saya tuan. Panggil saja Rasyid."
Rissa mengangguk.
"Nak Rasyid ini adalah donatur di panti asuhan kita. Selain itu, setiap Sabtu Nak Rasyid ini juga mengajar ngaji di sini setiap sore, Ris."
Rissa hanya mengangguk saja.
Suara dering ponsel Ibu Salma terdengar begitu nyaring. Wanita paruh baya itu langsung membaca pesan singkat di ponselnya. Keningnya berkerut, wajahnya tampak pias.
"Maaf, Nak Rasyid. Ibu ada urusan sebentar jadi Ibu tidak bisa melanjutkan perbincangan kita sekarang. Kalau Nak Rasyid tak keberatan kita bisa bicarakan besok perihal masalah tadi. Sekali lagi Ibu minta maaf."
"Tidak apa, Bu. Saya mengerti. Apa boleh saya berkeliling panti?"
"Boleh. Rissa, kamu temani Nak Rasyid, ya."
***
Rasyid tampak menyukai taman belakang panti asuhan itu. Di sana banyak bunga berjejeran. Ada dua ayunan dari ban karet yang sudah tua terdapat sobekan di sela-selanya. Dia mengambil ponsel dari saku celananya mengambil gambar di setiap sudut.
"Hobi saya fotografi tapi sayangnya saya tak membawa kamera. Di sini pemandangan lumayan indah. Kamu sudah lama tinggal di sini?" tanya Rasyid yang masih sibuk memfoto bunga kamboja berwarna kuning.
"Iya, tapi sekarang saya sudah tidak tinggal di sini lagi."
Rissa yang kelelahan berdiri memutuskan duduk di atas batu besar. Diikuti pula oleh Rasyid yang duduk di sebelahnya tetapi tanpa alas.
"Di situ kotor, Tuan."
"Tidak apa-apa. Tolong jangan panggil aku tuan. Aku sudah menyuruhmu memanggilku Rasyid saja, 'kan?"
"Maaf, tapi saya rasa umur Anda lebih tua dari saya. Jadi, saya tidak enak jika hanya memanggil nama saja."
Rasyid menghela nafas sejenak. Ia memandang Rissa setelah lama menatap birunya langit siang. Gadis cantik itu yang hanya sekedar ditatap saja sudah salah tingkah.
"Kalau begitu panggil saya dengan Kak, Mas, atau Bang asalkan bukan Om atau Kakek."
Lagi-lagi pemuda itu tersenyum manis.
Tbc ...
Maaf lama, terimakasih yang sudah berkenan membaca apalagi Vommen. Segala bentuk support sangat membantu.
17 November 2016
Rewrite: 20 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Unintended Marriage (Lagi Buka Privat)
General FictionCERITA DIPRIVAT Follow=> masukin library baru bisa baca kalau gak di log out dulu. Sequel dari Hidden Husband (Remake from AIP) Dulu ketika kecil aku berharap dapat menikah dengan orang yang kucintai dan semesta mengabulkan. Aku Arissa Husein dapat...