Mulmed : Arissa
Jalanan tampak ramai meski hari kian menggelap. Cahaya rembulan makin meredup tertutup kabut malam yang kian menghitam. Sapuan udara semakin mendingin. Suara jangkrik menjadi pelengkap kesunyian malam.
Waktu terus bergulir tak peduli dengan apa yang terjadi. Satu. Dua jam tak terasa terlewat begitu saja, tetapi gadis bermata teduh ini masih asyik memandang malam buta dari balik tirai yang jendelanya setengah terbuka. Seolah-olah apa yang ia lihat bisa mengusir lelah meski kantuk kian menjadi.
Surai hitamnya menari-nari terkena sapuan angin. Matanya tampak sayu karena lelah. Namun, masih terukir senyum di sana. Ia ambil ikat rambut yang ada di pergelangan tangannya dengan sembarang surai itu diikat. Sedari tadi pikirannya hanya tertuju pada kejadian senja di mana lelaki pujaan hatinya mengatakan ingin menikahinya. Hal itu masih terasa hanya mimpi baginya, jika benar maka dirinya lebih memilih untuk tidak tidur semalaman agar mimpi indah itu tak lenyap.
Gadis cantik ini mengambil sebuah liontin di nakas yang telah usang. Terlihat di sana keluarganya sedang tersenyum meski tak jelas terkena debu.
"Ibu, Ayah. Rissa kangen sekali. Rissa ingin bersama kalian?" tuturnya memandang rindu pada sosok yang hanya bisa ia lihat potretnya.
Bulir-bulir air mata lagi-lagi terjatuh dengan bebasnya.
"Kalian tahu. Pria sholeh itu ingin menikahiku. Pantaskah jika aku bersanding dengannya?" ujarnya kembali meski tak akan ada yang menyahut sama sekali.
***
Senyum simpul melekat di wajah Rasyid. Entah apa yang ia pikirkan. Gelagat yang tak lazim itu membuat sekertarisnya yang baru saja selesai mengentri data jadwal pertemuan dengan klien penting membuat gadis bertubh bak model itu kebingungan untuk menyerahkan berkas.
Akhirnya, Rasyid berhenti tersenyum simpul. Dirinya yang semula menatap jendela luar, mengalihkan pandangannya hingga ia mendapati sekertarisnya telah berdiri di depan pintu.
"Mikayla, ada apa? Silahkan masuk!"
Perempuan berpakaian formal, tetapi elegan itu melangkah perlahan mendekati meja kerja Rasyid. Setelah berdiri di depan lelaki bermata sipit itu, ia tak langsung duduk. Dirinya setia berdiri sebelum dipersilakan untuk duduk meski berulang kali atasannya itu menyuruhnya langsung duduk saja tak perlu menunggu persetujuannya. Namun, gadis ini merasa itu kurang sopan.
"Silahkan duduk, My."
"Jadwal saya tidak padat sekali kan sampai bulan depan?" tanya Rasyid tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas yang tengah ia teliti.
"Iya, Pak. Emh, tadi Mas Fariz menelpon katanya ingin kemari bertemu Anda. Sekarang beliau dalam perjalanan."
"Kalau begitu kamu pesankan minum pada OB buat Fariz, ya."
Mykaila mengangguk. Gadis ini sudah hafal minuman yang harus disajikan untuk teman atasannya. Lemon tea tanpa gula melainkan menggunakan madu. Jadi, tak heran jika di kulkas pantry terdapat lemon dan madu yang memang khusus dibuat untuk Fariz.
Tak butuh lama pria berwajah kebaratan itu telah sampai di ruangan Rasyid dengan senyuman yang lebih mirip cengiran kuda. Tampak sekali sahabat karibnya tengah bahagia. Entah apa yang membuat lelaki itu bisa seceria detik ini, pikir Rasyid. Beberapa hari sebelumnya Fariz mengeluh tentang pendapatan perusahaannya yang merosot drastis.
"Ras, gue bahagia banget."
"Kenapa?"
"Cobak tebak."
"Sekarang anak lo nambah jadi sepuluh."
Fariz tersenyum masam karena kesal. Sekarang dia sudah hafal dengan pernyataan Rasyid mengenai anak, apalagi kalau yang dimaksud bukan anak kucingnya.
"Kebetulan anak kucing gue udah dibeli sama orang. Sekarang gue udah gak punya anak kucing. Lo puas?"
Rasyid hanya mengangguk. Wajahnya datar sekali seperti permukaan meja kerjanya. Berbeda dengan Fariz yang baru beberapa menit datang sudah menampilkan banyak ekspresi.
"Gue kemarin ketemu sama cewek cantik."
Rasyid yang sedari tadi tak peduli dengan ucapan Fariz, kini mengalihkan pandangannya menjadi menatap sahabat karibnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Lo, itu ya cuma pikirannya cewek aja enggak ada yang lain."
"Ras, jangan marah dulu. Kemarin gue kan pergi ke luar kota untuk perjalanan bisnis. Tepat saat gue nganterin klien ternyata keluarganya ada yang ketabrak mobil. Terus karena sopirnya belum dateng gue nganterin dia ke rumah sakit dan ternyata yang ketabrak itu cantik banget dan dia koma."
"Terus apa hubungan cewek cantik koma sama keceriaan lo hari ini."
"Sebagai ucapan terimakasih klien gue itu langsung ngasih proyek pembangunan hotelnya ke gue. Mimpi apa coba semudah itu gue dapetin proyek dari dia yang terkenal sulit diajak negosiasi."
"Jadi, kebahagiaan lo itu cuma gara-gara lo berhasil dapetin proyek itu. Lo itu berbahagia di atas penderitaan orang lain tahu, enggak?"
Senyum di bibir Fariz pudar. Melihat wajah ketidaksukaan Rasyid. Ia menghela nafas sejenak sebelum meminum lemon tea-nya.
"Bukan gitu maksud gue. Lo tahu kan perusahaan gue kalau pendapatannya terus menurun gue bisa bangkrut. Gue seneng banget bisa dapetin itu, tapi gue juga sedih atas hal yang menimpa gadis itu. Lo tahu kan gue enggak bisa liat cewek terluka?"
"Boong banget. Lo tuh cuma kasihan sama cewek cantik. Dasar PK. Kalau emang jiwa player ya kayak gitu, ya."
"Gue bukan player apalagi PK. Gue cuma pecinta wanita. Biar gue suka deket banyak cewek tapi gue masih menghargai dan menghormati mereka karena gue lahir dari rahim wanita."
"Whatever, kalau emang lo bukan player ya udah cukup setia sama satu cewek terus lo nikahin. Hidup itu simple tapi orang-orang suka membuat hal itu jadi sulit."
"Iya, Pak Ustadz. Masih mending gue lah Ras daripada lo."
Rasyid mengerutkan dahinya. Sungguh, dirinya tak mengerti dengan ucapan sahabatnya itu.
"Gue enggak pernah liat lo deket sama cewek selain dari keluarga lo atau jangan-jangan lo homo. Terus cinta mati sama gue?"
Rasyid menjitak kepala Fariz. Lelaki itu langsung memekik kesakitan. Memang benar yang diucapkan Fariz bahwa dirinya tak pernah dekat-dekat dengan wanita tentu saja alasannya bukan homo. Sebenarnya dia juga tak punya banyak teman lelaki yang sekat. Sejak kecil dia sudah terbiasa hidup tanpa teman karena kesibukan ayahnya yang membuatnya ikut keliling dunia. Setiap baru menetap di suatu tempat dan memiliki teman pasti dia harus berpisah lagi karena mengikuti ayahnya.
"Enak aja, gue enggak homo. Liat aja dalam waktu dekat ini. Gue bakal kasih lo undangan pernikahan. Gue pastiin lo bakal jadi orang yang tercengang karena lihat istri gue."
"Sejak kapan lo punya calon istri. Jangan-jangan nenek peot atau ceweknya buluk."
"Enak aja, kenapa sih yang ada dipikiran lo itu selalu fisik? Mau dia cantik atau enggaknya itu bukan urusan lo. Pokoknya seperti apapun fisiknya ketika sudah lanjut usia, atau mungkin suatu hal yang buruk terjadi membuat keindahan fisiknya memudar yang perlu lo tahu dia itu istri gue, ibu dari anak-anak gue, dan bidadari yang paling indah yang diberikan oleh Allah untuk gue."
Rasyid tipikal orang yang berkomitmen, bertanggung jawab, dan pastinya setia. Namun, siapa yang tahu dimasa yang akan datang, jika suatu hal terjadi. Apakah dia masih bisa dikatakan setia, apabila kasih sayangnya ia bagi?
Tbc ...
Makasih yang masih bersedia membaca dan meluangkan waktunya untuk vommen. Jika berkenan mampir ke cerita saya yang lain ya.
30 November 2016
RT 26 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Unintended Marriage (Lagi Buka Privat)
General FictionCERITA DIPRIVAT Follow=> masukin library baru bisa baca kalau gak di log out dulu. Sequel dari Hidden Husband (Remake from AIP) Dulu ketika kecil aku berharap dapat menikah dengan orang yang kucintai dan semesta mengabulkan. Aku Arissa Husein dapat...