16. Dia yang Kami Tunggu

27.7K 1.7K 109
                                    

Part selanjutnya di privat
Thanks

Selang-seling suara adzan berkumandang. Perempuan bermata teduh yang semula terlelap dalam dekapan suaminya, kini perlahan membuka netra indahnya. Ditatapnya sebuah tangan yang melingkar di perutnya. Diusapanya kedua matanya mencoba memastikan itu bukan mimpi.

Masih teringat jelas semalam suami tercintanya marah kepadanya dan pergi begitu saja. Haruskah dirinya senang melihat Rasyid berada di sisinya? Rissa tak tahu harus bagaimana. Dirinya sudah terlalu sering tersakiti oleh pria itu.

Rasyid yang merasakan pergerakan Rissa langsung terbangun. Ditatapnya wajah cantik yang tampak lesu itu.

"Pagi, Ris," ujar Rasyid dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Pagi juga, Mas."

Rasyid langsung menyandarkan punggungnya di dinding. Matanya melirik jam di atas nakas.

"Rabbana, ternyata udah shubuh. Mandi dulu yuk Ris terus sholat shubuh," ajak Rasyid.

Rissa yang masih setengah sadar mencoba mencerna ucapan Rasyid barusan. Entah apa yang dipikirkannya sehingga pipinya merona.

"Ris, kamu dulu apa aku yang mau mandi?"

Rissa langsung menepuk jidatnya. Ternyata apa yang ia pikirkan salah. Dikiranya Rasyid akan mengajaknya mandi bersama ternyata tidak.

"Mas, aja duluan."

Rasyid langsung menuju kamar mandi sementara Rissa langsung membereskan ranjangnya.

***

Seusai sholat Rissa ingin memasak namun Rasyid mencegahnya. Lelaki itu mengatakan agar pembantunya saja yang memasak. Ada banyak hal yang ingin diutarakan suaminya.

"Mas, mau bicara apa?"

"Aku tahu jika aku mengatakan minta maaf bahkan mencium kakimu untuk semua salahku padamu itu tak cukup untuk menebusnya."

"Mas tidak usah minta maaf atau melakukan apapun karena Mas tidak berbuat salah kepada Rissa."

"Bohong jika aku tidak salah Ris. Semuanya salah. Dimulai dari aku memiliki keinginan untuk menikahi Camelia sampai kau harus melihat kami bersama."

Rissa mencoba tetap tersenyum meski batinnya sakit jika dingatkan akan hal itu. Dirinya tak sanggup membayangkan kebersamaan suaminya dengan wanita lain. Sekuatnya ia menahan tangis namun air mata akan menitik.

"Ris, aku tahu kau sangat terluka meski aku tak merasakannya. Tetapi, aku pura-pura tak terjadi apa-apa. Meski aku melihatmu menangis setiap malam di balkon. Aku tahu menangis dalam diam itu lebih menyakitkan daripada menangis dengan jeritan. Aku tak tahu harus melakukan apa untuk menghapus air mata dukamu dengan senyuman. Selagi Camel masih di sini pasti kau akan terluka."

Air mata Rissa mengalir begitu deras sama dengan Camelia yang melihat kejadian itu di balik pintu yang sedikit terbuka. Sementara perempuan yang berdiri memegang kursi roda Camelia tersenyum masam meski hatinya juga terluka melihat adiknya menangis. Sebenci-bencinya gadis itu pada Lia tetapi bagaimanapun dalam diri mereka mengalir darah yang sama.

"Kau sudah dengar kan, Camelia?"

Lia hanya terdiam tak menanggapinya.

"Ikutlah bersamaku. Lupakan semua ini. Kau tak mau kan terus-terusan menjadi benalu."

"Jelina, jika aku pergi dari sini itu juga tak mengubah statusku yang masih istri Mas Rasyid menjadi janda, kan. Jika, aku pergi dari sini apa semua masalah akan selesai?"

Unintended Marriage (Lagi Buka Privat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang