Mulmed: ArissaSinar mentari menyelusup melalui kisi-kisi. Udara pagi berembus pelan. Arissa yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung melepaskan handuk di kepalanya. Surai hitam itu dikeringkan menggunakan hair-dryer. Kemudian, di sisir lembut sebelum di ikat.
Almari jati tua dibuka dengan perlahan olehnya. Matanya menyelisik untuk mencari-cari kerudung yang sesuai dengan gamis berwarna merah muda bercampur biru telur asin. Pilihannya jatuh pada sebuah kain pasmina berwarna biru.
Seulas senyum mengembang di bibirnya tatkala melihat rupanya pada cermin. Ada rasa senang mengingat bahwa ibunya suka mengenakan pashmina ketika beliau masih ada di dunia. Wajahnya pun tak jauh berbeda dengan gadis bermata indah ini.
Tanpa ia sadari senyum mengembang itu perlahan pudar. Tetes air mata terjatuh dengan lihainya tanpa dikomando. Betapa hatinya merindu sosok cantik yang selalu memakaikan kerudung untuknya sewaktu kecil. Jika wanita itu masih hidup bersamanya, maka tak sehari pun ibunya membiarkan dirinya tanpa menggunakan kerudung.
Arissa menghapus air matanya dengan sebuah tisu. Gadis ini berusaha terlihat tegar meski hatinya terluka. Ia rias sedikit wajahnya dengan bedak tipis tanpa menggunakan pewarna bibir. Bibirnya itu sudah berwarna indah tanpa polesan.
Tas bewarna biru tua pemberian dari Ibu Salma ia buka. Tertata rapi di sana barang-barangnya. Gadis itu hanya memastikan keberadaan Al Qur'an kesayangannya peninggalan sang ayah.
Setelah usai bersiap ia langsung pergi mencari angkot untuk pergi ke Masjid Al-Amin untuk mengikuti pengajian ahad pagi. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana sekitar lima belas menit. Di sana berbagai kendaraan telah terjejer rapi. Mulai sepeda hingga mobil sport telah berbaris. Namun, Rissa merasa aneh biasanya hanya mobil mewah biasa yang berada di sana. Namun, hari ini ia melihat Buggati Verlyon yang tak biasanya ada di situ.
"Ris!" panggil Ibu Salma dengan seulas senyum.
"Iya, Bu," jawab Rissa sambil menata keterkejutannya.
"Udah empat bulan kamu enggak ikut pengajian. Ibu kirain kamu juga enggak dateng hari ini. Kalau tahu kan kamu bisa bareng Ibu."
"Iya, Bu. Kemarin, Rissa kerjanya lembur terus jadi kecapekan. Alhamdulillah, manager kafe enggak kayak biasanya nyuruh lembur."
"Ya udah. Kita masuk. Lain kali telepon Ibu ya, Ris."
Rissa mengangguk. Mereka berjalan ke Masjid berdampingan kemudian duduk di sebelah ujung berjejeran pula. Mata Rissa mengerjap beberapa kali saat melihat wajah pria yang telah membuatnya kerja jantungnya tak normal. Dari tempat ia duduk dengan jelas dirinya melihat sang penceramah adalah Rasyid. Berbagai pertanyaan hinggap di benaknya. Namun, gadis ini memilih diam. Ia tata sedemikian rupa agar mimik wajahnya normal, tetapi Ibu Salma melihat keanehan itu.
"Ris, kamu kenapa?" tanya Ibu Salma halus namun terdengar cemas.
"Enggak kenapa-napa, Bu."
"Jangan bohong, Ris. Ibu ini udah seperti orang tua kandung kamu. Ayo katakan sejujurnya."
Rissa menatap hangat wanita paruh baya yang merawatnya sedari kecil. Seulas senyum ia ukir untuk perempuan berhati malaikat itu.
"Rissa, hanya heran. Kok Ustadznya bukan Pak Ustadz Razzaq tapi kok malah Mas Rasyid."
"Oalah, Ustadz Razzaq sudah kembali ke Brunei sejak dua bulan yang lalu dan Nak Rasyid itu keponakannya yang menggantikan beliau sepulang dari Jerman."
Arissa hanya mengangguk mengerti. Dirinya menjadi tak fokus dengan materi yang di sampaikan. Gadis ini mulai berpikir bagaimana caranya menghilangkan perasaannya kepada Pria seperti Rasyid. Ia tak ingin merasakan sakit hati yang lebih, jika cintanya semakin membesar karena dirinya paham betul, dia tak patut bersanding dengan lelaki yang memiliki derajat sangat tinggi untuknya.
Acara begitu cepatnya usai. Rissa terburu keluar agar tak bertemu dengan Rasyid. Namun, siapa sangka dirinya malah berpapasan dengan lelaki bermata sipit itu. Bahkan pandangan mereka bertemu sejenak karena Rasyid langsung menunduk sementara Rissa mencoba mencari celah untuk pergi dari hadapan pria itu. Namun, siapa sangka Rasyid malah berjalan mendekat ke arahnya.
"Assalamualaikum, Ris!" sapa Rasyid dengan seulas senyum.
Rissa langsung menunduk. Ia tak kuasa setiap melihat senyum itu. Pipinya saja sudah memerah merona bak tomat yang matang.
"Walaikumsalam, Pak Ustadz."
Rasyid terkekeh mendengar jawaban Rissa.
"Jangan panggil, Ustadz. Rasanya agak aneh gitu kalau kamu yang manggil."
"Kamu mau kemana kok terlihatnya terburu-buru," lanjut Rasyid. Belum sempat Rissa menjawab ada suara lain menginstrupsi.
"Yayah!" teriak seorang balita sambil berlari dengan lucunya. Pipi gempalnya itu sangat imut. Dia berlari mendekati Rasyid. Lelaki itu langsung menggendong anak perempuan berusia kurang lebih tiga tahunan itu.
"Azmi, jangan lari-lari nanti kalau jatuh gimana. Nanti Ayah jadi sedih, 'kan." Rasyid memasang ekspresi sedih kepada anak kecil itu sambil menatapnya lembut.
Rissa yang melihat perilaku Rasyid itu menjadi bercampur aduk. Tak perlu banyak penjelasan gadis ini tahu kalau lelaki itu sangat menyayangi anak kecil dalam gendongannya. Dirinya semakin takut lagi dengan perasaannya mengetahui lelaki itu sudah menjadi seorang ayah.
"Besok enggak ulangin agi deh, Yah." Azmi mengacungkan jari kelingkingnya membuat Rasyid tersenyum.
"Yayah, ante cantik ini sapa?" Azmi menunjuk Rissa.
Rasyid langsung mengenalkan Azmi kepada Rissa.
"Azmi, kenalin ini tante Rissa. Ris, kenalin ini Azmi."
"Namanya Azmi cantik ya kayak orangnya," ujar Rissa seraya tersenyum meski hatinya terluka.
"Ante juga cantik anget. Iya, kan Yah?"
Rasyid tersenyum.
"Iya, tante Rissa cantik banget. Namun, keindahan fisik itu gak selamanya menjadi ukuran kecantikan seseorang. Cantiknya seorang wanita itu ada di dalam hatinya, Sayang," jelas Rasyid sambil nencubit gemas pipi gempal Azmi.
Rissa yang mendengar ucapan Rasyid paham benar apa yang dimaksud lelaki itu. Hal itu semakin membuatnya bersedih dan merasa tak pantas mencintai lelaki seperti Rasyid.
"Ohh, kalau Umi udah cantik kayak kata Yayah belum?" tanya Azmi antusias.
"Udah belum ya? Ayah gak tahu penilaian manusia itu berbeda dengan Allah. Namun, yang Ayah tahu Umi udah berusaha biar kayak gitu. Eh, Umi kemana sih?" Rasyid mengedarkan pandangannya untuk mencari Aqila.
"Umi adi ke kamar mandi. Tuh sekarang agi jalan." Tunjuk Azmi kepada wanita berjilbab cokelat muda yang tengah berjalan seraya tersenyum manis.
Rissa yang melihat sosok itu merasa tak percaya diri. Wanita muda itu sangat cantik dengan balutan gamis syar'i. Pantas saja jika Rasyid memiliki istri secantik wanita itu.
"Mas, maaf Qila lama. Tadi, antri di toiletnya," jelas Aqila dengan suara lembut.
"Enggak pa-pa."
"Maaf, Ustadz. Saya permisi masih ada kepentingan." Rissa sudah tak bisa menahan air matanya. Dia langsung berjalan cepat tak peduli tanggapan Rasyid.
"Siapa dia, Mas?" tanya Qila penasaran.
"Calon kakak iparmu."
"Ohh itu yang namanya Arissa. Kelihatan masih muda banget. Kok bisa dia di sini, Mas. Bukannya keluarganya tinggal di Bandung."
"Ceritanya panjang nanti dibahas di rumah."
Tbc ....
Assalamualaikum,
Gimana pada bosen kah?
Atau malah penasaran?Terimakasih untuk semua yang sudah bersedia vomment.
Salam hangat,
20 November 2016
Rewrite: 21 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Unintended Marriage (Lagi Buka Privat)
General FictionCERITA DIPRIVAT Follow=> masukin library baru bisa baca kalau gak di log out dulu. Sequel dari Hidden Husband (Remake from AIP) Dulu ketika kecil aku berharap dapat menikah dengan orang yang kucintai dan semesta mengabulkan. Aku Arissa Husein dapat...