Jingganya langit membawa kisah yang sulit. Tak mudah ditafsirkan dalam kata-kata. Angin berembus kencang menggoyangkan pepohonan. Dedaunan mulai berguguran. Alam sedang tak tenang mungkin tengah berduka, buktinya tangisannya basahi jalanan.
Seperti tetes air hujan. Qila menangis tak kunjung henti. Masih teringat jelas di benaknya kejadian siang tadi. Dimana kakaknya mengucapkan bersedia menikahi gadis lumpuh yang ia tabrak. Ingin berucap, ingin pula mencegah namun kakaknya sudah memberi rambu-rambu peringatan untuk tak ikut campur.
Wanita berjilbab ini mengutuk hari yang penuh duka. Dirinya bertanya-tanya apa salahnya kenapa roda kehidupan berhenti di titik paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Masih teringat jelas bayang-bayang suaminya yang terluka parah karena melindunginya dari tusukan pencuri. Hingga maut menjemputnya. Kini ia harus melihat duka terdalam kakaknya yang harus menikah lagi namun bukan karena cinta melainkan mengambil beban tanggung jawabnya.
Qila tak mampu membayangkan wajah Rissa jika nanti perempuan itu melihat suaminya kembali bersama wanita lain. Dirinya seorang perempuan yang paham betul betapa sakitnya melihat yang dicintai membagi cinta dengan yang lainnya.
Suara derit pintu membuyarkan lamunannya. Ia usap air mata. Senyuman palsu ia suguhkan kepada Sang kakak.
"Qil, kamu menangis lagi?" tanya Rasyid sambil menghapus sisa-sisa air mata adik tersayangnya.
"Mas, serius mau menikahi wanita itu?"
Rasyid menghela nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan.
"Kamu tahu Mas sudah berjanji untuk menikahi perempuan itu, kan? Janji harus ditepati bukan."
"Lalu, bagaimana dengan Rissa?"
Rasyid yang mendengar nama Sakral itu disebutkan menjadi semakin bersalah. Terasa ada sebuah pisau yang menancap di hatinya. Kembali terlintas senyum menawan istrinya yang mungkin tak akan secerah pertama kali ia berjumpa bahkan bisa jadi hanya duka, setelah tahu jika dirinya mendua.
"Aku sudah meminta izin kepadanya. Dia sudah mengizinkan."
Qila yang mendengar itu tak percaya. Bibirnya terbungkam seketika. Terbuat apa hati wanita itu yang rela dimadu, pikir Qila.
***
Rissa mengusap peluhnya. Waktu menunjukkan sepertiga malam saat ia terbangun. Entah mengapa sejak kepergian Rasyid tidurnya tak nyenyak. Ada bayangan yang selalu menghampiri dirinya dalam mimpi tapi tak jelas hanya terlihat sepasang kekasih yang berpisah.
Dirinya bingung karena sudah empat hari semenjak suaminya berujar aneh. Bertanya perihal pernikahan. Sejak itu tak dia dapati suara hangatnya dari sambungan telepon atau pesan singkatnya yang berisi perhatian kecil seperti sudah makan atau tidur seperti biasanya.
Rissa rindu Rasyid. Sangat. Sudah hampir dua minggu lelaki itu pergi. Harinya terasa hampa tak melihat pria bermata sipit itu.
Ia ambil foto pernikahannya yang baru saja beberapa hari selesai dicetak. Terlihat senyum mengembang di bibir suaminya. Baru kemarin rasanya ia menikah dengan Rasyid namun naasnya seperti seorang janda.
***
Rasyid menatap lekat wanita lumpuh yang akan segera ia nikahi. Entah sudah berapa tisu yang perempuan itu habiskan keadaan ayahnya memburuk. Dirinya tak tahu harus bagaimana. Hanya lelaki tua itu yang ia punya. Siapa yang akan menemaninya saat sulit seperti ini. Pikirannya berserakan kemana-mana. Belum puas dunia memberi siksa kepadanya dan sekarang kenyataan pahit melihat seperangkat alat medis melekat di tubuh sang ayah.
"Nona, lebih baik kau berdoa saja daripada terus menangis," ujar Rasyid halus takut menyinggung perasaan wanita itu.
"Saya sudah berdoa. Tapi, jika garis takdir seperti ini saya bisa apa kecuali menangis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unintended Marriage (Lagi Buka Privat)
General FictionCERITA DIPRIVAT Follow=> masukin library baru bisa baca kalau gak di log out dulu. Sequel dari Hidden Husband (Remake from AIP) Dulu ketika kecil aku berharap dapat menikah dengan orang yang kucintai dan semesta mengabulkan. Aku Arissa Husein dapat...