Part (1)

282 19 2
                                    

7 tahun kemudian

Andre berulang kali melirik jam tangannya. Kedua kakinya juga tak bisa diam. Mondar-mandir sejak 15 menit yang lalu.

"Michele cepetan. Nanti kakak telat."

"Iya, Kak."

Michele turun tergesa-gesa. Dia melihat Andre sudah berdiri di depan pintu. Mau tak mau Michele tidak sarapan hari ini. Dia menyalami orang tuanya lalu berlari menemui kakaknya. Huh, bahaya kalau kakaknya marah.

Di mobil, Andre mengomeli Michele gara-gara keterlambatannya. Hari ini adalah hari pertama Michele masuk SMA. Namun Michele tidak bersekolah di yayasan milik orang tuanya. Dia ingin mencoba hal baru. Andre tak bisa menolak keputusan adiknya. Bagaimanapun juga, Michele sudah besar dan dia harus memutuskan pilihannya sendiri.

Jarak antara sekolah Michele dan sekolah Andre tidaklah jauh. Hanya 100 meter. Setiap ada event, kedua sekolah itu saling mengundang. Itulah yang menyebabkan SMA Permai dan SMA Harapan Bangsa selalu rukun.

Sampai di depan gerbang SMA Permai, Andre menghentikan mobilnya. Sebelum turun Michele mencium pipi kakaknya sekilas. Kebiasaan Michele dari kecil, mencium pipi kakaknya setiap akan pergi.

Michele melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah yang luas. Beberapa anak sibuk menyiapkan diri. Ada juga yang sekedar bercanda. Michele tidak memperhatikan jalan sehingga dia menabrak seseorang dan orang itu terjatuh.

"Maaf, maaf. Aku nggak sengaja." Michele mendekati orang tersebut. Laki-laki lebih tepatnya.

Laki-laki itu berdiri dan menatap Michele tajam. O-ow, pasti dirinya akan dimarahi. Melihat Michele hanya setinggi pundak lelaki itu, Michele meneguk ludahnya.

"Ma-maaf. Aku nggak sengaja," kata Michele terbata.

Nih, cowok ganteng-ganteng galak, batin Michele .

"Kalo jalan itu pake mata," cowok itu berkata tajam.

Michele mengernyitkan dahi. "Bukannya kalo jalan pakai kaki ya? Sejak kapan jalan pakai mata?" tanya Michele dengan wajah polosnya.

Yang ditanya wajahnya memerah menahan malu. Buru-buru dia pergi meninggalkan Michele. Michele hanya mengedikkan bahu, lantas berjalan kembali mencari kelasnya.

Beberapa kali Michele tanya kepada orang-orang yang lewat, akhirnya ia sampai di depan ruang kelasnya. Ruang kelas yang didomonasi warna biru muda itu sudah penuh dengan murid. Hanya satu bangku yang kosong, terletak di tengah-tengah. Michele mendekati bangku itu.

Di sekolah ini tempat duduknya sendiri-sendiri, kayak di perguruan tinggi gitu. Michele menaruh tasnya di lantai. Bersiap-siap untuk upacara bendera dan upacara pembukaan MOS. Huh, pastilah lama.

Bel berbunyi, Michele berjalan menuju halaman. Banyak anak-anak yang sudah berbaris menurut kelasnya. Michele ikut beberapa cewek yang menurutnya adalah teman sekelasnya. Dia mendapatkan barisan belakang. Sendiri pula.

Upacara dimulai. Obrolan-obrolan kecil makin lama makin menyurut. Michele merasa panas matahari terlalu menyengat. Pusing melanda kepalanya. Amanat kepala sekolahnya terdengar kecil. Pandangan matanya memburam sebelum akhirnya kesadarannya menghilang.

Michele mencoba membuka matanya. Bau obat-obatan menyeruak masuk ke indra pemciumannya. Hal pertama yang ia lihat adalah lampu yang bersinar di ruangan yang serba putih. Michele mencoba untuk duduk. Siapa yang membawanya ke UKS?

"Lo udah sadar?" kepala Michele menoleh ke sumber suara.

Samar-samar ia melihat siluet laki-laki mendekatinya. Ketika cahaya lampu menerangi wajah itu, Michele ingin menjerit keras jika saja tak dibungkam mulutnya oleh orang tadi.

MASKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang