Michele menghembuskan nafas berulang kali di depan cermin. Semalam dia tidur di apartemen Randi. Jangan salah sangka. Mereka tidur di ruangan yang terpisah.
"Sudah siap?" Randi muncul dari balik pintu.
"Sudah, Kak."
Mereka keluar menuju tempat parkir. Senyum Michele kembali. Tidak seperti semalam yang tampak kacau. Dia terlihat lebih baik sekarang.
"Nanti mau dijemput?"
"Enggak usah. Michele mau ke tempatnya Kak Andre dulu. Semoga Mama sama Papa enggak di sana."
Randi mengangguk. Sesampainya di SMA Permai, Randi memeluk Michele sebentar. "Belajar yang rajin, oke? Nanti kita ketemu di apartemenku."
Michele mengangkat tangannya membentuk simbol 'oke'. Dia membuka pintu lalu melambaikan tangan ke arah mobil Randi yang mulai berjalan menjauh.
Huh ...
Michele berdiri di depan gerbang sekolahnya. Sebenarnya perasaan Michele tidak enak saat menjejakkan kaki keluar mobil. Hatinya sedikit was-was entah karena apa. Michele mulai melangkahkan kaki memasuki sekolahnya.
Dugaan Michele benar. Di koridor, hampir semua anak melihatnya sinis. Hatinya berdetak keras sekarang. Pandangannya tertumbuk pada segerombol siswa yang mengerubungi papan pengumuman. Michele mendekat. Beberapa orang menyingkir memberi jalan. Michele mematung di tempatnya. Dibacanya artikel yang tertempel.
'Di Balik Putusnya Hubungan Win-Di'
Ada fotonya bersama Dion di danau hari itu. Juga saat Dion memeluknya. Matanya memanas. Orang yang melakukan ini sangat tega padanya. Dia pergi dari sana diiringi bisikan-bisikan halus.
Kakinya kembali melangkah menuju kamar mandi. Tempat yang pas bagi seorang gadis untuk menumpahkan kesedihannya. Inilah penyebab Michele gelisah tadi. Masalah ini menyeretnya lagi ke lubang yang lebih dalam. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Michele memutuskan untuk mengikuti pelajaran. Mencoba tidak peduli pada pandangan tajam orang-orang. Koridor menuju kelasnya sudah kosong. Michele bisa bernafas lega. Namun, dia melihat seseorang di depan papan pengumuman di dekat kelasnya. Semakin dekat, Michele mengenali orang itu.
"Kak Dito?"
Dito menegang. Pergerakan tangannya terhenti. Padahal hampir selesai dia menempelkan artikel tersebut. Artikel yang sama yang dibaca Michele sebelumnya.
"Jadi, Kak Dito ..." Michele tidak mampu meneruskan kata-katanya.
Dito tersenyum sinis. "Iya, gue yang ngelakuin ini."
Air mata sudah menggumul di pelupuk mata Michele. Dito menyeringai. Dia sangat ingin melihat Michele menangis. Dia heran, bagaimana Michele bisa bertahan tanpa menangis.
Michele menghembuskan nafas berulang. Dia mengedipkan mata beberapa kali untuk menghilangkan air matanya. Dia menyunggingkan senyum terpaksa.
"Oh, maaf kalau Michele ganggu. Lanjutin aja. Sekali lagi, maaf." Michele meninggalkan Dito yang masih bergeming.
Harapan Dito musnah sudah. Dia kira Michele akan menangis tapi ternyata tidak. Dito mengedikkan bahu. Dia melanjutkan aktivitasnya yang tadi tertunda.
"Jangan nangis," rapal Michele dalam hatinya.
Michele bolos untuk yang pertama kalinya. Dia berjalan menuju rumah sakit. Menjenguk Andre. Dan berharap semoga orang tuanya tidak di sana.
Ceklek
Michele memasuki kamar bernomor 204. Beruntung. Robert dan Natasha tidak di sana. Dia mendekati Andre yang masih terbaring lemah. Memegang tangan kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MASK
Teen FictionThe amazing cover by @fazafalah21 ------------------ Hidup Michele semula baik-baik saja. Keluarga yang sayang padanya, teman-teman yang mendukung keputusannya, dan sesosok laki-laki yang selalu ada di sampingnya. Namun, bagaimana jika semua itu dir...