Part (17)

95 8 0
                                    

"Aku dijodohin."

Dua kata. Dan itu mampu membuat hati Michele mencelos. Sendi-sendinya seakan lumpuh. Untuk bergerak saja dia tidak sanggup.

"Michele."

Panggilan lembut dari Randi menyadarkan Michele. Ekspresinya kembali seperti semula. Tersenyum lebar sampai matanya melengkung.

"Wah, kalo Kak Randi tunangan, Michele diundang ya."

Sebelum hari ini, senyum Michele adalah pemandangan favorit Randi. Entah kenapa kali ini senyumnya malah membuat hatinya ngilu.

"Michele aku–" ucapan Randi terhenti. Suaranya tercekat di tenggorokan.

Michele menunggu kelanjutan ucapan Randi dengan jantung berdebar. Berharap percakapannya bersama Randi cepat berakhir.

"Aku nggak bisa," lanjut Randi.

Kali ini Michele mengangkat kepalanya. Menatap mata coklat pekat Randi yang menyiratkan penyesalan. Sebisa mungkin Michele menyembunyikan raut sedihnya.

"Kenapa?"

"Aku sayang sama kamu, nggak mungkin aku menerima perjodohan ini."

Michele menggeleng cepat. "Kak Randi harus nerima perjodohannya. Percaya sama Michele, pilihan orang tua Kak Randi pasti lebih baik dari Michele."

Randi tidak bisa melanjutkan perkataannya. Dia berdiri dari duduknya lalu mendekap Michele. Dekapan erat yang jarang diberikan kepada perempuan lain.

Michele membalas pelukan itu. Sama eratnya dengan yang dilakukan Randi. Sebentar lagi Michele akan kehilangan Randi. Dia harus ikhlas. Cukup sulit, Michele tahu itu.

"Aku nggak bisa. Aku nggak suka sama dia."

Michele melepas paksa pelukan Randi. "Kak Randi nggak boleh gitu. Suka datang karena terbiasa. Kalo Kak Randi mencoba menyukai dia, lambat laun pasti terjadi juga."

Randi menatap Michele sendu. Bagaimana tidak. Bidadarinya sedang menyimpan rasa sakit seorang diri. Dialah yang menyebabkan sakit itu. Jika bisa, Randi ingin sekali menolak, tapi Michele bersikeras menghadangnya. Mau tidak mau Randi harus menurutinya.

"Kalau aku sudah tunangan nanti waktuku bertemu kamu akan semakin berkurang. Janji sama aku kalau kamu akan nyari kebahagiaan walau tanpa aku."

Michele tersenyum. Tidak membalas ucapan Randi. Dia tidak yakin hari-harinya akan berjalan seperti biasa tanpa Randi. Larangan kakaknya saja dia langgar.

"Udah malem. Michele mau ngerjain pe-er dulu. Kak Randi mau tidur di kamar? Biar Michele yang tidur di sofa," katanya setelah beberapa saat terdiam.

"Kamu aja yang di kamar."

Michele mengangguk lalu pergi dari sana. Mengambil buku pelajaran esok hari dan mengerjakan beberapa tugas dari gurunya. Saat dia sedang menulis, sebuah rencana terbersit di kepalanya.

***

Lima menit menjelang pukul enam Michele sudah bersiap dengan tasnya yang menggelembung besar. Dia akan melaksanakan rencananya hari ini.

Randi melihat Michele sudah rapi. Dia beranjak mendekati gadis itu dengan heran.

"Jam segini mau ke mana?" tanyanya.

"Michele mau pulang." Senyum Michele mengembang.

"Mau aku anterin?"

"Enggak usah. Michele pergi dulu, Kak. Bye."

Di depan pintu apartemen Randi, Michele terdiam. Aktingnya sungguh bagus. Randi percaya semua perkataannya. Langkah selanjutnya yang akan dia lakukan adalah menyewa apartemen murah yang cukup jauh dari jangkauan orang-orang yang mengenalnya. Bolos untuk beberapa hari mungkin.

Dia berjalan tergesa menuju taksi yang dipesannya. Memberikan alamat yang akan ditujunya. Taksi tersebut berjalan mulus di aspal. Jalanan masih lengang mengingat ini baru pukul enam.

"Terima kasih, Pak," ucap Michel setelah memberikan sejumlah uang untuk membayar.

Michele memandangi bangunan yang akan menjadi rumah sementaranya. Tekadnya sudah bulat. Dia akan menginap di sini. Michele menemui resepsionis untuk mengambil kunci lalu dia pergi menuju kamarnya di lantai dua.

Apartemennya tidak terlalu buruk. Sebuah kamar, dapur, dan ruangan untuk menonton televisi. Michele menyukai warna putih dan krem yang mendominasi ruangan. Dia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Menghirup udara sebanyak mungkin.

Satu lagi yang harus dilakukannya. Mengganti nomor ponselnya dengan yang baru.

***

Kedua bola mata yang cukup lama terpejam itu perlahan terbuka. Mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Aroma obat-obatan yang tajam membuat hidungnya mengernyit.

"Andre?" Suara familiar itu terdengar serak.

"A ... ir."

Natasha langsung mengambil air yang disediakan di nakas. Memberi sedotan lalu membantu Andre untuk meminumnya.

Air mata bahagia menetes di pipi halus Natasha. Berulang kali mengucap syukur atas kesadaran Andre. Diraihnya handphone untuk menghubungi Robert.

"Ma ..." panggil Andre, "Michele mana?"

Natasha membeku. Tidak mengira jika orang pertama yang dicari Andre adalah Michele. Dia memutar otak mencari jawaban yang pas. Diliriknya jam yang menunjukkan pukul sembilan.

"E ... Itu ... Michele baru sekolah."

Andre mempercayainya walau sedikit ragu. Dia memejamkan mata lagi. Mencoba mengingat kejadian di jalan raya waktu itu.

Terakhir yang diingatnya adalah Michele terjatuh di trotoar dan dia ditabrak sesuatu yang keras. Andre meringis membayangkannya.

"Andre, are you okay?" Natasha menatap Andre khawatir.

Andre mengangguk pelan. Dia ingin bertemu Michele. Entah kenapa dia ingin melihat wajah polos Michele.

Ceklek ...

Pintu kamar Andre dibuka dengan tergesa-gesa. Harapan Andre yang masuk adalah Michele. Namun harapan itu pupus ketika mengetahui papanyalah yang datang.

Robert mendekati Andre lalu tersenyum senang. "Papa seneng kamu udah sadar."

Andre ikut tersenyum kecil. "Michele mana, Pa?"

Sorot mata Robert berubah tajam. Rahangnya mengeras, menandakan dia sedang menahan amarah.

"Jangan sebut nama dia lagi di hadapan Papa!"

Andre mengernyit bingung. Apa yang telah terjadi sampai papanya begitu marah kepada Michele? Perasaannya tidak enak. Memikirkan kemungkinan terburuk terhadap adiknya.

"Kenapa sama Michele, Pa?"

"Kamu nggak sadar, siapa yang menyebabkan kamu tertabrak?! Dia! Gadis nggak tau diuntung itu!"

Andre menatap papanya tajam. "Papa nggak tau apa yang terjadi. Andre begini karena nyelametin Michele."

"Kenapa kamu nggak biarin dia ketabrak sekalian?! Papa nyesel ngangkat anak seperti dia!"

"Papa!" bentak Andre. Air matanya berkumpul di pelupuk mata. Tidak menyangka ucapan papanya bisa seperti itu. Laki-laki itu mengambil handphone di atas nakas. Menghubungi Pak Toni –orang yang dipercayainya– untuk mencari Michele di mana pun dia berada.

"Kalau Papa nggak mau nyari Michele, biar Andre aja yang nyari."

------------------------------------------------------

A/N:

Satu ato dua part ke depan bakalan full nyorot Andre. Bagi yang tau keberadaan Michele, telepon di nomor yang disediakan. Becanda, deng.

Hari ini gue belajar. Bayangin. GUE BELAJAR. BELAJAR, WOY. Nggak nyangka gue. Beneran. Jangankan belajar. Buka buku aja paling novel.

Satu lagi. Gue pengin ngopi kata-kata adik gue dulu. "Anak sekolah itu open book. Bukan open BL, SN, USP, USS, atau USM."

Gue, author gesrek, undur diri. BHAYYYYY

MASKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang