Bisma'1

1.9K 81 7
                                    

Bima melangkahkan kakinya keluar gedung untuk menjauh dari keramaian. Suara lantunan lagu A Thousand Years semakin tak terdengar di telinganya. Ia berhenti di sisi kolam dengan air yang begitu tenang. Kentara sekali tidak ada yang menyentuh permukaan air itu selain embusan angin. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana sambil menatap dirinya di pantulan air. Jas hitamnya ia simpan di dalam gedung, hingga hanya tersisa kemeja berlengan panjang yang ia gulung sampai siku. Lengkap dengan celana bahan hitam.

Hari sudah mulai sore. Langit biru sudah berubah warna menjadi jingga kekuningan. Pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di belakangnya semakin membuat suasana sore ini terasa sejuk. Tinggal beberapa jam lagi, pernikahan kakaknya akan selesai. Namun para tamu yang berdatangan justru semakin banyak. Membuat Bima lama-lama pusing melihat kerumunan orang.

Dari tempatnya berdiri, Bima bisa melihat para tamu yang baru saja tiba. Kerena posisi kolam tepat berada di sisi gedung. Meskipun jaraknya yang lumayan jauh.

Laki-laki itu berjalan ke arah bangku di bawah pohon dan duduk di sana. Tepat setelah punggungnya menyentuh sandaran, dari arah yang sama saat ia datang, seorang perempuan mengenakan dress tosca tanpa lengan berjalan tanpa arah sambil bermain ponsel.

Bima berani sumpah, kalau perempuan itu tak kunjung mengangkat kepalanya dan masih asik dengan ponselnya, bisa dipastikan perempuan itu akan terjun mulus ke kolam yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi. Karena sudah merasa was-was, Bima sudah berdiri dan hendak berlari. Namun perempuan itu sudah lebih dulu sadar atas kejadian yang hampir menimpanya dan berjalan ke sisi kolam. Raut wajah keterkejutan yang bisa Bima lihat hanya terpasang beberapa detik dan berganti dengan embusan napas lega.

Spontan, Bima ikut mengembuskan napas dan kembali duduk di bangku. Kalau perempuan itu benar-benar terjatuh, mungkin yang akan ia lakukan turun ke kolam dan menyelematkannya. Dan di saat itulah seorang Bima Pralingga Putra mendadak menjadi seorang pahlawan. Entah kenapa, pemikiran itu membuat Bima mendengus geli dan tanpa sadar mengangkat sebelah sudut bibirnya.

Selang beberapa detik pandangan mata Bima dan perempuan itu bertemu. Bima tentu tidak bisa menghilangkan wajah berserinya karena masih membayangkan pemikiran tadi. Sedangkan perempuan yang kini sedang berjalan ke arahnya, mengangkat alisnya bingung.

"Lo, hampir aja kecebur," ata Bima ketika perempuan itu berdiri di dekat bangku yang ia duduki. Mungkin perempuan itu menganggap Bima aneh.

Kedua alis Isma saling bertaut. Namun sedetik kemudian ia mengerti maksud dari ucapan laki-laki itu. "Oh, itu," katanya sambil menggaruk lengan sebelah kirinya, menyadari kecerobohannya saat berjalan tadi. "Nggak sadar."

"Emang lo mau ke mana?" Bima bertanya. Perempuan ini pasti salah satu tamu undangan Indri, kakaknya.

Yang ditanya melihat sekitar sebelum menjawab, "Nggak kemana-mana. Lagi nyari angin aja."

"Udah nemu 'kan?" kata Bima ketika merasakan angin yang menerpa wajahnya. Bagian bawah dress yang dipakai perempuan itu pun bergerak seiring dengan datangnya angin. "Duduk. Nggak pegel berdiri terus?" ajaknya sambil menepuk bangku kosong di sebelahnya.

Isma menatap bangku kosong itu beberapa saat sebelum benar-benar berjalan dan duduk di sana. "Makasih."

Bima mengagguk. "Lain kali kalau jalan jangan sambil main hape. Kasian 'kan handphone-nya kalau tadi lo bener-bener jatoh ke kolam."

Isma menoleh dengan cepat begitu mendengar gurauan Bima. Menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti. Ia bingung dengan kesan pertama yang diberikan laki-laki ini. Sebegitu akrabkah dia kalau ketemu sama orang baru?

"Bercanda," Bima tertawa melihat Isma yang hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. "Tapi gue serius soal jangan jalan sambil main handphone. Apalagi tadi lo sampe nggak nyadar, gitu."

"Thanks," ucap Isma tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia kembali membalas grup chat yang datang bertubi-tubi.

Sedangkan Bima memperhatikan perempuan itu dari atas sampai bawah. Karena posisi duduk Bima yang menyender dan Isma yang duduk tegak di ujung bangku, membuat laki-laki itu tidak perlu repot-repot mengubah posisinya untuk bisa melihat perempuan ini. Bukan bermaksud untuk menilai penampilannya, namun mungkin umur perempuan ini tidak berbeda jauh dengannya.

"Lo tamu juga?"

Bima mengerjap saat melihat perempuan itu sedang menatapnya dan bertanya. "Bukan. Gue adek dari pengantin perempuannya."

"Oh," Isma mengangguk. "Sori, gue nggak tau."

"Nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, lo siapanya pengantin?"

Isma diam beberapa saat sebelum menjawab. "Sebenernya gue nggak tau siapa yang nikah ini. Gue di sini cuma nemenin nyokap." Tuturnya jujur.

Bima manggut-manggut mengerti. "Terus lo ngapain di sini?"

"Gue males liat banyak orang di dalem, pusing liatnya. Jadi ya gue mending keluar aja." Jelas Isma. "Lo sendiri kenapa di sini? Kan, lo keluarga dari pengantin juga?"

"Nggak beda jauh sama lo. Gue juga pusing liat banyak orang." Jawab Bima. "Mungkin karena sekarang sore, jadi orang-orang lebih milih waktu buat dateng ke acaranya pas cuaca nggak begitu panas."

"Bener, sih. Nyokap gue juga selalu dateng ke acara kondangan gini sore-sore, kalau acaranya bukan malem. Katanya kalau siang panas. Kalau acara itu sampai malem, mungkin bakal dateng malem juga." Kata Isma yang sudah mulai rileks.

"Nah, iya. Padahal mereka datengnya pake mobil."

Isma tersenyum menyadari kebiasaan orang-orang yang sebenernya sering terjadi itu. "Tapi kalau orang kayak kita -maksudnya, kita yang nggak suka sama kerumunan orang gitu pasti lebih milih dateng siang sih dari pada dateng sore tapi rame banget gini."

"Se-enggak suka gitu ya kita liat banyak orang?" Bima terkekeh.

"Nggak gitu juga, sih. Cuma ya kayak risih aja gitu kalau harus di antara banyak orang. Mending duduk diem di pojokan sekalian!" Isma tertawa pelan. "Bedakan sama upacara. Orang-orang pada diem berdiri, nggak kesana kemari dan nggak ngobrol. Nggak bikin pusing."

Bima mengangguk setuju. Meskipun dirinya tidak terlalu seperti perempuan ini yang kelihatannya benar-benar tidak suka dengan keramaian. Namun ia hanya berusaha nyaman pada topik pembicaraannya mereka untuk pertama kalinya ini. "Setuju, sih."

Isma tersenyum. Menatap Bima dengan tatapan sedikit berbinar. "Makanya susah juga kalau ada acara-acara yang memungkin banyak orang gitu. Kayak acara pensi yang bakal ada di SMA Bangsa minggu depan, mungkin? Gue mikir ribuan kali deh buat ikutan. Walaupun temen-temen gue maksa."

Bima menatap Isma penuh binar. "Lo mau ke pensinya SMA Bangsa? Wah, temen gue juga ngajakin ke sana, sih."

"Yang bener?" tanya Isma. "Pasti lo kepengen ikut karena ada Raisa?"

"Temen gue sebenernya yang suka. Kalau gue ke sana, temen gue suka mendadak bringas kalau bener-bener ketemu Raisa. Cuma karena pernah foto bareng, temen gue itu jadi demen banget sama dia."

"Gila, gila," Isma tertawa renyah. "Wajar sih kalau dia suka. Raisa emang cantik."

"Emang iya, sih. Tapi kayaknya gue nggak ke sana. Tiketnya udah kehabisan."

"Temen gue ada nih, mau?" tawar Isma mengingat beberapa menit yang lalu salah satu temannya menawarkan tiket pensi SMA Bangsa lewat grup chat di Line.

Bima tampak berpikir sejenak. "Boleh, deh, boleh."

"Tapi hape gue low." Ucap Isma mengangkat tangan kanannya dan melihat kondisi ponselnya yang mati total.

"Yaudah gue minta ID Line lo aja. Nanti biar gampang ngehubunginnya."

"Hah?" Isma mengerjap melihat Bima yang sudah menjulurkan ponselnya. Masih dengan keterbingungannya, Isma mengambil ponsel itu dan mengetik ID Line nya di sana.

"Nanti gue Line lo kalau tiketnya udah ada," Kata Isma sambil mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.

Tepat setelah ponsel itu berada di tangannya, satu pesan masuk dari Mamanya dan menyuruhnya untuk segera datang karena sesi foto keluarga akan dimulai.

Bima bangkit sambil memasukan ponselnya ke saku celana. "Gue ke dalem, ya. Ditunggu kabar baiknya."

***

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang