Bisma'17

811 46 1
                                    

Sudah hampir satu jam lebih Isma duduk di depan teve yang menyala bersama Galih di sebelahnya. Isma sesekali membuka ponselnya, membalas pesan-pesan yang berdatangan, entah itu dari grup kelas atau dari Bima. Galih sibuk dengan makanan di tangannya.

"Bosen gue nonton ini mulu." Komentar Isma mengulurkan tangannya meraup kacang polong di tangan Galih.

"Ganti kek," katanya lagi karena Galih tidak merespons apa-apa.

"Diem, deh, jangan ganggu," kata laki-laki itu tak acuh. "Masalahnya gue nggak pernah nonton sampai akhir."

Isma mendengus kesal. "Endingnya—"

"Sst!" Galih mengalihkan pandangannya, menatap Isma dengan tatapan jengkel. "Nggak usah kasih tau, dong. Nggak seru!"

"Iye, iye." Isma tidak berkomentar apa-apa lagi. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sampai tiba-tiba Galih bersuara.

"Gimana sama Bima?"

"Ha?" Isma menoleh dengan kedua alisnya terangkat. Agak terkejut dengan pertanyaan yang diajukan abangnya.

"Lo, sama Bima, gimana?" kata Galih tanpa menoleh.

"Gimana, gimana?"

Galih mendengus. "Lo belom jadian sama dia?"

"Apaan gila?" kata Isma kebingungan. "Siapa juga yang jadian."

"Oh salah, deh," Galih kini menoleh. "Lo sama Akbar masih?"

"Masih apa pula?"

"Ye!" Galih melempar kacang polong ke arah Isma. "Nggak usah sok nggak ngerti gitu, deh."

"Pertanyaan lo tuh yang aneh." Protes Isma. "Lo gimana, lo masih. Apaan dah ah."

"Aduh, kambuh dah bego lo. Masa harus gue perjelas?"

Isma sebenarnya mengerti apa maksud dari semua pertanyaan Galih. Itu hanya cara dia mengulur waktu untuk mencari jawaban.

"Akbar nggak ada kabar." Jawab Isma dengan sedikit parau.

"Apa? Akbar kabur?"

"Galih, ah!" Isma menggeser duduknya sampai ke ujung sofa. Menghadapkan badannya ke arah Galih dengan tatapan malas.

"Nggak, serius," wajah Galih sama sekali tidak menunjukan bahwa ia becanda. "Kok sampe nggak ada kabar gitu?"

Bahu Isma turun. Mendengar kata Akbar entah kenapa membuatnya merasa sedih. "Gimana, ya. Akbar udah nggak pernah Line gue lagi, guenya juga nggak pernah Line duluan."

"Kali dia nggak punya kuota?"

"Enggak. Nggak mungkin." Isma menggeleng. Tatapan matanya lurus pada layar teve yang menyala. "Gue kayak nggak ngersain apa-apa lagi. Semuanya hambar, Lih."

"Kalau di sekolah?" Galih kembali bertanya.

"Ya, gitu. Dia udah jarang makan bareng di kantin. Kalau pun makan bareng, dia lebih banyak diem. Apa banget kan? Awkward banget kayak baru kenal."

"Kalau pas-pasan?"

"Dia kayak yang nggak kenal gue aja gitu. Cuma liat sekilas. Tapi gue pernah mergokin dia lagi ngeliatin gue."

"Lo udah nggak suka sama dia?"

Isma menggeleng. Bahkan dirinya sendiri tidak mengerti pada perasaannya sekarang. "Gue nggak tau."

"Kenapa? Pasti ada alasan kenapa lo ngerasa hambar gitu, kan?"

"Sumpah gue juga nggak ngerti."

"Apa karena Bima?"

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang