Bisma'6

1K 64 0
                                    

"Ngomong-ngomong, tadi lo ngapain sama temen-temen lo di sana?"

Bima tidak langsung menjawab pertanyaan perempuan yang duduk di sebelahnya. Ia memutar otaknya secepat mungkin untuk mencari alasan yang tidak mencurigakan. Namun ketika ia mencoba mengingat pertanyaan macam apa yang diajukan Isma, tiba-tiba saja terdengar suara kekehan dari mulutnya.

"Numpang kencing," jawab Bima sekenanya. "Ya, menurut lo aja, deh, gue ngapain di cafe itu."

"Ha?--Oh," Isma tertawa ketika sadar pertanyaan bodoh yang diajukannya.

"Kenapa, Ma? Capek, ya? Lagian mainnya jauh banget, sih, dari rumah?" Bima berusaha mengalihkan pembicaraan. Agar Isma tidak bertanya-tanya lagi tentang 'mengapa ia bisa ada di sana'.

"Nggak, gua nggak capek." Isma mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depan ke laki-laki yang sedang sibuk menyetir di sebelahnya. "Nggak tau tuh abang gue yang ngajakin."

"Lagian, mau-mauan aja diajakin?" tanya Bima menoleh sekilas.

"Iya, iya?" Isma balik bertanya, namun sedetik kemudian air wajahnya berubah protes. "Ih, soalnya dari kemaren-kemaren dia diem mulu di rumah. Makanya pas ketemu dia di jalan tadi dan dia ngajakin gue makan, ya gue senenglah akhirnya dia gak diem lagi."

"Ketemu di jalan?" tanya Bima pura-pura tidak mengerti. Persetan dengan kepura-puraanya yang sudah berlangsung selama beberapa puluh menit terakhir semenjak ia menghampiri perempuan ini.

"Iya, tadi gue abis ke rumah temen. Eh, taunya pas mau balik ketemu abang gue di jalan."

"Abang lo kenapa diem mulu?"

"Nggak tau, ya. Tapi waktu-- tau nggak sih waktu gue ke kondangan kakak lo? Sebenernya sebelumnya itu gua ngajakin dia buat ikut. Biasanya sih dia ayo ayo aja, malah semangat banget soalnya gue sama dia suka kesana-kesini kalo ke acara kayak gitu. Cuma waktu kemaren, dia ngerem mulu di kamar, kayak meratapi nasib. Keluar kamar kalau mau berangkat kuliah, cari makan dan salat jumat. Dia nggak cerita ke gue kenapa, jadi, yaa, gue juga diem aja nggak berani nanya."

Bima diam mendengarkan setiap kata yang dikeluarkan Isma; tanpa menyela sedikitpun. Hatinya seperti ada yang bergerak melihat Isma yang dengan luwesnya bercerita kepadanya. Padahal Bima ingat betul saat pertama kali mereka bertemu, Isma memandang aneh dirinya karena dengan santainya bergurau. Mungkin saat itu Isma menganggapnya orang asing.

"Lo udah coba tanya kenapa abang lo akhir-akhir ini diem mulu?"

Isma tampak berpikir sejenak, mencoba mengingat apa saja yang ia bicarakan bersama Galih. "Kayaknya enggak, deh."

"Kenapa? Emang lo nggak penasaran?

"Penasaran, sih, cuman," Isma menggantungkan kalimatnya. Tiba-tiba saja ia menghadapkan badannya ke arah Bima. "Lo pernah nggak, sih, kayak takut buat nanya kenapa ke kakak lo?"

Bima yang merasa perhatian perempuan ini sepenuhnya jatuh kepadanya, lantas menoleh sekilas. "Kalau boleh jujur, gue sama Indri nggak sedeket itu,"

"Indri?"

"Kakak gue."

Isma meringis, merasa tidak enak hati. Padahal minggu lalu, ia datang ke acara pernikahannya. "Hehe, sori."

"Nggak apa-apa. Lanjut nggak nih?" tanya Bima dibalas anggukan oleh perempuan di sebelahnya.

"Iya, jadi, gue sama Indri nggak pernah sampe jalan keluar -makan kayak lo sama Galih gitu. Deket, sih, deket sewajarnya kakak-adek, ya. Tapi, gue nggak pernah sampe tuker cerita."

"Kenapa?" berbeda dengan Bima hanya diam mendengarkan setiap cerita Isma, perempuan itu justru lebih sering memotong ucapan Bima.

"Indri selalu teriak, 'sumpah, najis gue cerita ke lo! Tanggepannya cuma ham-hem-ham-hem doang!'"

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang