Bisma'18

802 49 0
                                    

Isma menimakti lagu yang berputar melalui headset yang terpasang di kedua telinganya. Sesekali ia menggerakkan bibirnya mengikuti lirik. Sambil menatap ke depan melihat kendaran yang berlalu-lalang di depannya. Duduk sendirian di tempat umum seperti ini memang jarang sekali Isma lakukan. Biasanya Laras yang selalu menemani. Namun sudah dari satu jam yang lalu Isma menyuruh Laras untuk pulang dan tidak usah menemaninya.

Isma sedang tidak menunggu siapa-siapa. Ia hanya sedang ingin sendirian sambil mendengarkan lagu seperti apa yang ia lakukan sekarang di halte depan sekolah. Kebetulan hari ini Bima ada bimbel, jadi laki-laki itu tidak datang menjemput. Meskipun sebenarnya Isma juga akan menolak jika Bima tidak ada bimbel dan datang menjemputnya.

Entah kenapa ia mendadak mellow seperti ini. Semenjak Galih mengatakan kalau ia harus memilih Bima atau Akbar, perempuan itu dirundung kebingungan. Ia masih tidak paham mengapa pertanyaan itu sangat berpengaruh. Isi kepala Isma penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia yakini hanya ia sendiri yang tahu jawabannya. Namun ia sendiri masih belum mengerti.

Apaan sih gue, batin Isma mendesah.

Perempuan itu masih belum mengubah posisinya dari sebelas menit yang lalu. Duduk bersedekap dengan pandangan lurus dengan punggung yang menyender. Seperti orang yang tak tahu tujuan. Di tengah-tengah dirinya menikmati lagu Till It Hurts, Isma melihat seorang perempuan di sebrang jalan. Detik berikutnya ia langsung menegakkan tubuh, merasa familier dengan perempuan yang mengenakan seragam sekolah itu. Hampir lima detik Isma berpikir siapa perempuan itu, akhirnya ia tahu kalau itu adalah perempuan yang berada di rumah teman Bima beberapa waktu lalu.

Tanpa berpikir panjang Isma langsung turun dari halte, menyebrangi jalan dengan hati-hati. Ia menghampiri Aulia yang sedang berdiri sambil memainkan ponsel.

"Aulia?" panggil Isma pelan, hati-hati. Takut salah orang.

Yang dipanggil mengangkat kepalanya. Aulia tidak langsung mengenali wajah yang barusan memanggilnya, sampai detik ketiga Aulia terkekeh.

"Isma, ya?"

Isma ikut terkekeh. "Lo masih inget gue?"

"Ya, masih lah," Jawab Aulia sambil tersenyum. "Lo ngapain di sini?"

"Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain di sini?" kata Isma, menunjuk gedung yang berada di belakang halte. "Itu kan sekolah gue."

Aulia mengikuti arah tangan Isma, ia tertawa. "Oh itu sekolah lo? Gue nggak tau, sumpah."

"Bukan. Sekolahnya bukan punya gue. Maksudnya, gue sekolah di situ."

"Iya, iya, maksudnya gue itu." Ucap Aulia masih dengan sisa tawanya.

"Jadi lo ngapain di sini?" Isma mengulang pertanyaannya.

"Ini gue lagi nunggu temen gue tapi nggak dateng-dateng," Aulia kembali melihat ponselnya. "Nggak ada kabar juga."

Isma menggut-manggut mengerti. Mendadak ia bingung harus bertanya apalagi. Atau lebih tepatnya bingung harus melakukan apa.

"Lo laper nggak?" tanya Isma sedikit canggung. Detik berikutnya entah kenapa ia menyengir.

"Emm laper, sih."

"Nah! Kita makan dulu yuk? Di situ," Isma menunjuk tempat makan yang berada beberapa meter dari mereka berdiri. "Di sana ada cafe khusus buat anak remaja gitu. Sekalian nunggu temen lo itu. Nanti dikira lagi nunggu angkot, gimana?"

Aulia tertawa lagi. "Iya juga, sih. Ayo, deh!"

Tidak sampai lima belas menit kemudian, mereka berdua sudah duduk berhadapan di dalam cafe. Suasananya tidak terlalu ramai. Namun kebanyakan dari mereka memang anak sekolahan dan kuliahan. Mungkin karena ini sudah lewat dua jam dari jam pulang sekolah.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang