Prolog

3.9K 105 8
                                    

"Bima, bangun!"

Laki-laki yang masih berbaring di balik selimut itu tidak bergeming dengan kedua mata terpejam. Rahma -wanita berusia 45 tahun yang baru saja memasuki kamar anak laki-lakinya, berjalan ke sisi ruangan, menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi langsung menyeruak masuk ke dalam ruangan. Langit masih gelap, lampu-lampu jalan masih menghiasi sisa pagi ini. Beliau berjalan ke arah sisi kasur karena tak kunjung mendengar sahutan dari anaknya.

"Bima, udah jam berapa ini!"

"Hm," laki-laki itu bergumam tanpa mengubah posisi tidurnya yang memeluk guling dengan posisi tengkurap.

"Cepet bangun, salat subuh dulu," titah Mamanya sambil menggoyang-goyangkan kaki Bima.

Laki-laki itu langsung menarik kakinya karena merasa terganggu dengan sentuhan Rahma. Ia justru semakin menenggelamkan kepalanya di antara bantal-bantal. Bima memang salah satu dari sekian banyak orang yang susah untuk dibangunkan. Ingin sekeras apapun suara alarm yang terdengar, namun tetap saja hanya suara Mamanya yang mampu membuatnya terbangun. Meskipun membangunkannya bagaikan meredam perang dunia.

"Nak, cepetan nanti terlambat!" Kali ini Rahma menarik selimut yang menutupi tubuh Bima. Tapi bukannya terbangun, laki-laki itu hanya diam saja. Matanya masih terpejam, terasa sangat berat untuk membukanya.

"MasyaAllah ini anak," gumam Rahma sudah mulai kesal. "Mama nggak mau tau sepuluh menit lagi kamu harus udah siap-siap."

"Hm."

"Iya, nggak?"

"Hmm,"

"Bima Pralingga!"

"Iya," jawabnya dengan suara serak. Ia hanya waktu sebentar untuk benar-benar sepenuhnya sadar.

"Ayo, cepet. Jangan sampe ketiduran lagi." Lalu Rahma berbalik dan berjalan keluar kamar.

Perlahan Bima mengangkat tubuhnya dan menurunkan kedua kakinya di sisi kasur, menyentuh lantai kayu yang terasa dingin pagi ini. Sambil menggaruk kepalanya yang terasa gatal, ia melirik jam digital yang ada di atas nakas sebelah kasurnya. 04:58. Kalau bukan karena hari ini acara pernikahan kakaknya, mungkin Bima sudah berniat untuk melanjutkan tidurnya setelah salat subuh.

***

"Galih, lo beneran nggak mau ikut?" Perempuan itu melongokkan kepalanya di pintu kamar Abangnya. Ia mendorong pintu tersebut dan berjalan ke sisi kasur.

"Lih, ikut nggak?" ulangnya, berharap Galih menyahut. Laki-laki itu berbaring dengan badan menghadap ke langit-langit kamar dan matanya ditutup oleh bantal. Isma tahu, kalau Abangnya tidak benar-benar sedang tidur.

"Enggak," balas Galih dengan suara pelan.

"Kali-kali temenin gue ke kondangan sama Mama, kek. Gue suka bosen kalau nggak ada lo," ucap Isma jujur sambil memajukan bibirnya.

Galih tidak bergeming.

"Gini deh, gue nggak akan ganggu lo selama seminggu asal sekarang ikut ke kondangan sama Mama. Ya, ya, yaa?"

Galih masih diam, tidak bergerak sama sekali dari posisinya. Dan Isma masih terus membujuk.

"Galih, sebenernya hard disk lo nggak ilang. Tapi gue kembaliin sekarang, kok! Asal lo ikut, gimana?"

"Lih, selama seminggu gue beresin kamar lo, deh. Beneran!"

"Selama seminggu juga gue bakal manggil lo 'abang'!"

"Gue beliin lo Samyang sepuluh!"

"Ah, najis." Dengus Isma kesal karena tak kunjung mendapat respons. "Gue bilang juga nih ke Mama Papa kalau di hard disk lo ada film porno!"

Mendengar ancaman itu, Galih langsung mengangkat bantal dari wajahnya dengan cepat. Ia langsung duduk dan memandang adiknya sengit. "Sumpah ya itu temen gue yang nyimpen!"

"Iya, terus lo ikutan nonton. Iya 'kan?" balas Isma tak kalah sengit.

"Nggak," sanggahnya langsung. "Sok tau lo."

"Halah, bangke. Cowok zaman sekarang mana ada yang gak nonton begituan!"

"Kenapa jadi ngomongin itu, sih?" kedua alis Galih bertaut. Mood-nya sedang tidak bagus hari ini."Gue nggak mau ikut ke kondangan, oke? Sana pergi!"

"Kenapa, sih? Biasanya juga kalau Papa gak bisa nemenin Mama, kita berdua yang nemenin Mama ke kondangannya."

"Ya itu kan kemaren-kemaren. Sekarang gue nggak mau!" Tanpa sadar, Galih membentak perempuan yang berdiri di sisi kasurnya.

Isma tersentak. Air mukanya berubah datar mendengar Galih yang malah membentaknya. Tanpa mengatakan apapun lagi, Isma berbalik dan keluar kamar.

"Terserah."

Galih kembali ke posisi semula. Isi kepalanya mendadak penuh. Sampai ia sendiri tidak tahu mana yang harus ia singkirkan terlebih dahulu. Luka hatinya yang mengering kini basah kembali. Napasnya berat seketika, tenggorokannya terasa sakit sekedar menelan ludah.

***

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang