Bisma'12

906 52 1
                                    

Pagi ini Isma berangkat bersama Galih yang entah kenapa menerima permintaan Isma untuk mengantarnya ke sekolah. Kakaknya itu selalu menolak kalau masalah antar-mengantar adiknya. Selalu menyuruh Isma belajar mobil atau setidaknya membawa motor. Namun berbeda dengan hari ini, ketika Isma tahu bahwa Ayah tidak bisa mengantarkannya ke sekolah seperti biasa, Galih langsung mengangguk saat Isma hanya memohon dengan satu kali tarikan napas. Tanpa menggerutu. Padahal Isma sudah siap-siap untuk merajuk.

Memang semenjak datangnya Bima ke rumah, sikap Galih sudah sedikit berubah. Kakaknya itu selalu ada di rumah jika tidak ada jadwal kuliah, sudah jarang pulang larut malam. Tidak mengurung diri di kamar atau menyendiri. Dia kadang datang ke kamar Isma, berbaring di atas kasur dan bertanya tentang apapun. Isma selalu menanggapi, bahkan ia selalu ingin bertanya mengapa Galih bersikap seperti kemarin-kemarin. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak suka dengan sikap Galih seperti itu. Seolah laki-laki itu hanya hidup sendirian. Tidak melirik dirinya yang sangat mengkhawatirkannya. Akan tetapi, pertanyaan itu selalu tersangkut di tenggorokan manakala melihat Galih tertawa. Sudah berminggu-minggu Isma merindukan tawa kakaknya itu-meskipun tertawa bukan berarti seseorang sedang tidak patah hati, hingga ia tidak ingin tawanya itu menghilang karena pertanyaan dirinya.

Mungkin benar kata Bima, Galih hanya butuh teman. Dirinya tidak bisa sepenuhnya menemani kakaknya. Apalagi dalam hal bermain PS dan basket.

Motor Galih berhenti ketika melihat lampu merah di depannya menyala. Isma mendengus. Meskipun ia senang Galih mengantarkannya ke sekolah, namun ia pun kesal karena menggunakan motor besarnya.

Tiba-tiba ponsel yang ada di tangannya bergetar. Isma mengangkat tangannya dan melihat satu pesan masuk dari Line.

Bima Pralingga: Boleh juga motor Galih

Isma melotot, ia langsung menoleh ke kiri dan mendapati Bima yang sedang tersenyum lebar di dalam mobil lalu melambaikan tangannya sambil menggerakan bibirnya berkata "pagi."

Isma balas melambaikan tangannya sambil tertawa kecil dan ikut menggerakan bibirnya "pagi juga" tanpa suara.

Bima tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Lalu tak lama ponsel Isma kembali bergetar.

Bima Pralingga: Tumben berangkat sama Galih?

Entah untuk apa, Isma menoleh ke arah Bima sebentar sambil tersenyum sebelum membalas pesan laki-laki itu.

Isma Pramudita: Idk. Lagi kesambet kali dia:d

Lampu merah berganti menjadi warna hijau. Cepat-cepat Isma kembali mengetik pesan.

Isma Pramudita: Hati-hati nyetirnya:)

Tak lama kemudian ia menoleh dan mendapati Bima yang mengangguk kemudian mobilnya berjalan berlawanan arah dengannya.

Beberapa menit kemudian Isma sampai di sekolahnya. Perempuan itu loncat dari motor dan sedikit membenarkan seragamnya.

"Balik lo sama Akbar aja, ya. Gue mau ke kampus." Ucap Galih di balik helmnya.

Ada jeda sebentar sebelum Isma berkata. "Balik mah gampang."

"Beneran? Kalau enggak lo minta anter Bima."

Isma menautkan alisnya tidak suka. "Lih, Bima dan Akbar bukan ojek privat gue. Gue bisa sms Bunda minta jemput atau balik bareng sama Laras."

Galih akhirnya mengangguk setuju. "Ya udah."

"Hati-hati, Lih." Pesan Isma sebelum motor Galih sudah melesat pergi meninggalkannya sendiri di depan gerbang sekolah.

Isma berbalik badan dan masuk ke sekolah. Ia melirik jam tangannya. Masih dua puluh menit lagi jam perlajaran pertama dimulai. Namun sepertinya sekolah sudah lebih ramai dari biasanya. Perempuan itu sedikit melamun sambil merasakan segarnya udara pagi ini. Rambutnya kali ini diikat menjadi satu ke belakang.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang