Bisma'9

1K 59 0
                                    

Isma Pramudita: Bilangin ke bunda gue balik naik uber. Bentar lagi sampe

Tiga menit setelah pesan itu terkirim, motor yang Isma tumpangi berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Ia mengangkat kaki kanannya ke belakang sampai berdiri di sebelah motor dan membuka helmnya. Suasana komplek rumahnya sudah sepi. Langit juga sudah mulai gelap sehingga tidak terlalu memperlihatkan penampilan Isma yang masih mengenakan baju seragam sekolahnya. Tidak karuan.

"Makasih, ya, Mas." Isma tersenyum sekilas setelah memberikan uang tarif.

Isma tahu apa yang akan terjadi jika kakinya sudah berada satu langkah di belakang pintu. Pada langkah ke sepuluh, pandangannya langsung tertuju pada seorang wanita yang duduk di atas sofa dengan mata yang menatap lurus ke arah layar televisi. Isma langsung bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Genggaman pada tali tasnya semakin kuat, menyalurkan segala rasa ketakutan.

Bunda tak kunjung melihat ke arahnya meskipun ia yakin bahwa Bunda sadar akan kehadirannya. Tidak terdengar suara sahutan seperti yanh biasa dilakukan jika ia baru sampai rumah. Isma duduk di sofa yang lain, sedikit berharap Bunda menoleh tanpa dipanggil.

Dengan setelan baju rumahan, Galih menuruni tangga sambil membawa ponsel. Layarnya menyala, menampilkan kolom obrolan antara dirinya dan Isma. Awal niatnya untuk menemui Bunda dan memberitahu apa yang kirim adiknya beberapa menit lalu tak terlaksanakan begitu melihat Isma sudah duduk di ruang tengah.

Galih tidak mengatakan apa pun ketika matanya bersitatap dengan mata Isma. Kehadirannya yang baru saja datang dengan ponsel di tangannya seakan mengatakan bahwa ia tidak sempat memberitahu Bunda perihal pesan itu. Laki-laki itu duduk di sebelah Isma. Mengangkat kedua kakinya ke atas dan menyenderkan punggungnya ke belakang. Benar-benar posisi yang santai, seolah tidak peduli dengan atmosfer yang dirasa Isma. Matanya terfokus pada ponsel, namun sebenarnya Galih juga ikut merasakan bagaimana jika ia berada di posisi Isma sekarang.

Ruangan itu penuh dengan kebisuan. Meskipun terdapat tiga orang penghuni, namun di antara mereka belum ada yang buka suara.

Sampai akhirnya terdengar suara embusan napas berat dari sela bibir Bunda. Sebagai seorang Ibu, Bunda harus menghilangkan suasana yang beliau sendiri sangat benci ini. Perlahan kepalanya menoleh ke arah anak perempuannya yang duduk sedikit menunduk. Anak perempuannya yang beberapa jam yang lalu sukses membuatnya kalut.

"Kamu tau 'kan kalau Bunda nggak bisa marah ke anak Bunda?"

Pertanyaan itu membuat Isma mengangkat kepalanya. Datar. Itu menggambarkan bagaimana ekspresi Bunda sekarang. Lebih baik mendengar omelan-omelan Bunda daripada melihat beliau yang marah namun tidak bisa menampakannya.

Isma menggigit bibir bagian bawahnya. "Maaf, Bun. Aku nggak akan kayak gini lagi."

Mulai dari situ, hampir setengah jam, Isma mendengarkan semua nasihat-nasihat Bunda agar tidak mengulanginya lagi. Mengerjarkan tugas sampai nyaris malam tanpa memberitahu tahu sebelumnya memang sangat dilarang oleh Bunda. Beliau tidak akan melarang kalau itu bersangkutan dengan sekolah. Namun beliau juga harus tetap tahu dimana tempatnya, sudah makan atau belum dan sampai jam berapa. Dengan demikian Bunda tidak khawatir.

Harusnya Isma merasa lega bisa lolos malam ini. Namun ada sesuatu yang mengganjal selama setengah jam itu. Mulanya Isma tidak sadar. Tapi saat merasakan seseorang bangkit di sebelahnya dan berjalan ke lantai dua, Isma tahu apa yang salah.

Galih, yang biasanya akan ikut berbicara jika Bunda sudah bernasihat, malam ini hanya diam. Mungkin karena terbiasa mendengar ocehan Galih juga, Isma seperti merasa ada sesuatu yang hilang di saat laki-laki itu menutup mulutnya padahal berada di dekatnya.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang