Bisma'15

738 48 1
                                    

Aulia.

Kenapa perempuan itu bisa ada di rumah Gian?

Bima melirik Gian penuh dengan tanda tanya. Meminta penjelesan tentang keberadaan perempuan itu. Isma yang berdiri di depannya juga menoleh ke belakang, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sedikit banyak Bima menyesal tidak langsung membawa Isma pulang. Selain karena keadaan perempuan itu habis menangis, juga keberadaan Aulia yang membuatnya canggung.

Gian membisikan sesuatu di telinga Isma, yang membuat Bima melotot dan hampir mendorong laki-laki itu. Namun tangan Isma yang mengangkat meminta Bima untuk tidak protes, mampu mengurungkan niatnya. Tak lama Gian menjauhkan dirinya. Isma yang baru mendapatkan informasi sempat melirik Bima sebentar sebelum ia berjalan menghampiri Aulia.

"Lo—"

"Sstt!" Gian langsung menarik lengan bomber Bima agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang bodoh. Membawa temannya itu ke halaman depan.

"Lo gila kali, ya? Itu Isma—"

"Dengerin gue dulu!" Gian memotong protesan Bima. "Tenang dulu. Tarik napas, buang."

"Seriusan, Anjing. Kenapa, sih?"

"Jadi gini," Gian mulai bercerita. "Duduk dulu, deh, capek gue berdiri dari tadi nunggu lo."

Bima tidak protes, tapi ia juga tidak ikut duduk dan menunggu Gian melanjutkan ceritanya.

"Nggak usah tegang. Ini bukan lagi ijab kabul."

"Yan."

"Oke, serius," Kata Gian. "Tadi di deket sekolah kita ada yang tawuran."

"Terus? Aulia ikut tawuran?"

"Kagaklah bego," timpal Gian. "Aduh, gue bingung harus cerita dari mana. Intinya, tadi pas gue balik, gue liat Aulia ada di sekitaran area tawuran itu."

"Awalnya gue juga mikir mungkin Aulia mau ikutan tawuran. Tuh, kan! Gue jadi ikutan gila." Gian menggaruk kepalanya. Sebenarnya ini hanya cara dia agar Bima tidak terlalu menganggap masalah ini serius. Meskipun ia sendiri gusar.

"Yan, serius, sih!" Bima mulai galak.

"Iya, iya. Jadi, di situ gue bingung mau ngapain. Muka Aulia udah pias banget. Gue merasa nggak laki kalau nggak nolongin. Cuma gue juga nggak mau kena bacokan. Keadaan sekolah udah sepi banget. Ada, sih, beberapa orang, tapi kebayakan juga takut buat nolongin. Akhirnya setelah gue debat sama adek kelas cowok yang kebetulan juga niat mau nolongin, kita berdua maju. Tapi anjingnya, udah ada keburu orang yang nolongin."

"Siapa?"

"Nggak tau. Kayaknya yang ikutan tawuran juga. Soalnya bajunya lecek gitu." Gian mengangkat bahunya. "Tapi cowok itu langsung ninggalin Aulia. Mungkin karena urusan dia belom selesai. Akhirnya gue nyamperin Aulia, tapi dia nangis terus. Anjir, gue bingung mau ngapain! Masa gue peluk biar nggak nangis?"

Bima menatap Gian datar. Tanpa ekspresi. Entah karena kalimat terakhir Gian atau karena cerita yang Gian sampaikan.

"Akhirnya gue anter dia pulang, dan untungnya gue lagi bawa mobil bokap, tapi gue nggak tau rumahnya. Makanya gue bawa ke sini."

"Nyokap lo nggak di rumah?"

"Nggak. Lagi shopping doi."

"Terus?"

"Terus gue nelpon lo. Dan bersyukurnya gue, lo bawa Isma!"

"Tadi lo ngomong apaan ke dia?"

"Tenang, Bim, gue nggak bilang yang macem-macem." Gian menyengir. "Gue minta bantuan ke dia buat nenangin Aulia. Mungkin kalau sama cewek dia mau,"

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang