Bisma'27

746 46 0
                                    

Kemarin malam ketika Bima baru selesai mandi, ia mendapatkan sebuah pesan dari Galih. Laki-laki itu menyuruh Bima untuk mengatakan pada Isma tentang hubungannya dengan Indri di masa lalu. Alis Bima lantas berkerut kala itu, ia bingung. Ia berpikir, benar juga, selama ini Isma tidak tahu menahu tentang itu. Namun ketika otaknya berputar, ia ingat bahwa dirinya selalu berpikir akan lebih pantas jika Galih sendiri yang mengatakannya. Meskipun terkadang ada niat di dalam dirinya untuk yang bercerita, akan tetapi ia selalu lupa untuk melakukannya.

Sebenarnya itu yang ada di dalam pikirannya seharian ini. Apalagi dengan datangnya Indri sejak dua hari yang lalu. Ia juga tidak bertanya apa-apa kepada kakaknya itu. Ia tidak ingin ditanya-tanya atau lebih buruknya, Indri memintanya untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan. Meskipun ia tahu sifat Indri tidak seburuk itu, namun tetap saja, ia tidak bisa memprediksi apa yang akan selanjutkan terjadi jika ia membicarakan itu.

Ketika melihat Isma keluar dari toilet bersama Jeje yang berada di dekapannya, Bima langsung meyakinkan dirinya untuk membahasnya sekarang. Setidaknya Isma harus tahu. Ia juga tidak ingin menutupi sesuatu dari Isma.

"Beser banget sih, Je. Hari ini kamu udah pipis tiga kali." kata Bima, ketika Isma sudah ada di depannya dan sedang menurunkan Jeje. Orang-orang sekitar manatap mereka bertiga dengan tatapan yang tidak bisa mengerti.

Dikira MBA kali. Kurang lebih, itu yang ada dipikiran Isma dan Bima saat ini.

"Ini Jeje kita tinggal aja apa biar kita nggak diliatin gitu?" kata Bima lagi sambil melirik Isma.

"Ya, gila." respons perempuan itu. "Lo aja yang gue tinggal di sini."

"Dih." decih Bima. "Untung Jeje cewek."

"Hah? Apa?" Isma menoleh dengan ekspresi tidak mengerti.

"Enggak," Bima mengabaikan perempuan itu. Kini ia lebih memilih meraih tangan Jeje dan berjalan lebih dulu menuju parkiran. Jeje sesekali berceloteh, menunjuk seseuatu yang menarik indra pengelihatannya. Bima hanya iya-iya saja meresponsnya. Karena bukan hanya Jeje yang berceloteh, tapi perempuan yang berjalan di sisi satunya lagi pun sedang bercerita sesuatu.

Jadi, sebenarnya, Bima sedikit pusing.

"Ya, gue awalnya bingung, sih, harus gimana. Gue takutnya keceplosan dan malah jadi ngadu domba. Jadi kalau mereka cerita gue cuma denger aja, ngedukung apa keputusan mereka." cerita Isma ketika mereka bertiga sudah berada di mobil untuk mengantar Jeje lebih dulu ke rumah Bima. Karena laki-laki itu akan pergi ke rumah Gian yang memang satu arah dengan rumah Isma.

"Cowoknya sok ganteng ye, baperin anak orang sana-sini." ucap Bima yang fokus pada jalan di depannya. Namun kupingnya juga tetap terpasang mendengar semua cerita Isma.

"Nah, iya. Gue'kan jadi tau sifat cowoknya. Asli dah kalau gue kenal udah gue pukul kali pake ujung heels." kata Isma sinis. "Tapi orangnya emang ganteng, sih."

Tawa Bima berderai. "Yaelah, ganteng tapi kalau sifatnya gitu mah luntur!"

"Iya, sih. Tapi lebih kesel kalau mereka udah nyeritain bagian manis-manisnya si cowok itu. Hah, gue cuma bisa senyum doang sambil mikir 'gila nih cowok kayak anjing bener'."

"Hush, kalo ngomong." Bima memperingati, namun ia tetap tertawa. "Sekarang dua temen lo ini gimana? Masih temenan?"

"Masih. Cuma kadang sindir-sindiran gitu. Gue doang kayaknya yang sadar kalau sindiran mereka itu buat siapa." ujar Isma, kemudian ia memutar tubuhnya melihat Jeje yang sudah terlelap. "Tidur juga nih anak."

Bima langsung melirik melalui kaca spion tengah. "Bagus, deh. Dia kadang ngambek kalo lagi di rumah tapi gua pergi."

Isma kembali ke posisi semula. Ia manggut-manggut, telihat dari sikapnya pada Bima seharian ini, Jeje memang seperti menganggap Bima seperti kakaknya sendiri.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang