Bisma'16

848 45 0
                                    

"Sendal jepit gue kok cuma sebelah?" Bima melihat ke bawah, mencari-cari benda yang tadi ia sebutkan. Hanya ada satu sendal sebelah kiri yang ia lihat saat keluar dari mushola.

"Mampus ilang." ucap Gian yang sama sekali tidak peduli dengan hilangnya sendal jepit Bima.

"Sumpah," Bima masih berusaha. "Masa ada maling sendal di sekolah?"

"Coba cari tuh di deket tangga." Abi menunjuk ke sebelah kiri tangga. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Padahal ia sendiri tidak yakin benda itu ada di sana.

Suasana mushola sekolah memang sudah sepi. Para siswa dan guru laki-laki yang baru saja melakukan salat jumat sudah kembali ke kelas masing-masing. Hanya tinggal tersisa empat anak laki-laki yang sibuk mencari sendal jepit milik salah satu di antara mereka yang memang biasa dipakai untuk salat jumat di sekolah.

"Nggak ada, anjir." Bima pasrah. Setelah membuat halaman mushola sedikit berantakan, ia tak juga menemukan sendal hitamnya.

"Ikhlasin, Bim. Jum'at berkah." Kata Indra sambil cengengesan tak jelas.

"Terus gue ke kelas pake apa? Nyeker?"

"Ya udah, sih, nggak apa-apa." Sahut Abi. "Adek kelas pasti pada ngelirik kalo lo nyeker juga."

"Apaan bego." Ucapnya tak acuh. Bukannya bersiap untuk kembali ke kelas, Bima justru duduk di anak tangga. Pandangannya tertuju pada sendal-sendal yang dipakai ketiga temannya. "Gue nggak mau ke kelas nyeker sendiri."

"Apaan?" sahut Abi, Gian, dan Indra serentak.

"Kalian juga nyeker."

Abi yang pertama kali membantah. "Apaan? Nggak ada, nggak ada!"

"No!" tambah Indra melotot.

"Yuk, guys. Kita tinggal aja Bima." Tambah Gian dengan sedikit halus. Detik selajutnya ia merangkul Abi dan Indra, lalu berbalik membelakangi Bima.

Bima langsung berlari dan menubruk punggung ketiga temannya. Ia berjalan di tengah. Sendal yang tidak mempunyai pasangannya itu ia bawa. Meskipun tidak peduli dengan apa yang dikatakan Abi. Namun tetap saja, ia malu berjalan di area sekolah tanpa alas. Seorang Bima Pralingga, seorang laki-laki yang bahkan sama sekali tidak pernah sadar bahwa dirinya selalu membuat para perempuan meliriknya. Selalu menjadi pusat perhatian sekitar. Walaupun teman-temannya selalu mengatakan hal itu, namun Bima selalu menganggap itu hal yang biasa. Berarti para perempuan itu normal kan untuk melirik lawan jenis?

Suasana jam istirahat kedua memang tidak seramai jam istirahat pertama. Banyak yang memilih di dalam kelas. Tidur, mengobrol dengan temannya, membicarakan tentang tugas kelompok, atau merancanakan akan kemana setelah pulang sekolah nanti. Ada banyak juga yang memilih ke kantin lagi. Itu untuk yang merasa lapar. Seperti Abi, ketika mereka berempat melewati pintu kantin.

"Gue laper."

Bima yang berjalan di belakang Abi reflek menabok punggung laki-laki itu dengan cukup keras. "Sana sendiri!" ia menolak dengan keras jika harus ke kantin dalam keadaan ia tidak memakai sepatu.

"Sakit, Kampret!" kata Abi tidak terima. Ia menoleh sebentar, sekedar memberikan tatapan tajam. Setelahnya ia berbalik dan memegang punggungnya yang menjadi sasaran. "Gue 'kan nggak ngajak lo!"

"Lo 'kan kayak cewek, apa-apa minta dianter. Nggak laki!" balas Bima tidak kalah galak.

Akhirnya Abi dan ketiga temannya hanya melewati pintu kantin. Abi mendengus. Sebenarnya ia tidak lapar. Namun mulutnya seperti ingin memakan sesuatu. Mungkin efek habis salat jumat.

Ketika mereka menaiki lantai dua, secara tidak sengaja dan tak terduga, kuping mereka mendengar pembicaraan adik kelas yang berdiri di dekat tangga.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang