Bisma'20

751 43 2
                                    

Hal pertama yang dilihat Bima ketika memasuki area kantin adalah ramainya tempat itu oleh para siswa. Gian yang berjalan di depannya pun sampai geleng-geleng kepala melihat suasana kantin yang tampak dipenuhi orang-orang berseragam pramuka. Padahal, mereka berempat hanya telat datang ke kantin sekitar dua menit.

"Mules gua jadinya. Rame banget dah." gumam Abi. Tangan kanannya menarik kursi kantin sedangkan matanya melihat sekitar.

"Untung kagak desek-desekan ye, kayak di kereta." sahut Bima yang kini juga sudah duduk di meja khusus empat orang.

"Tapi mau serame apapun kantin, meja kita nggak pernah ada yang nempatin."

"Tapi pernah tuh waktu itu ada yang nempatin," ujar Indra. "Itu kita lagi basket kalau nggak salah. Gue ke kantin gitu kan mau beli minum. Terus mungkin itu orang ngeliat gue dateng, eh dia langsung minggat. Dikata gue mau ngusir kali, ya?"

"Muka lo kan emang nyeremin, Dra." kata Abi tertawa sekilas.

Indra mendengus. "Biarin. Gini-gini juga masih ada yang sayang."

"Iya, emak lo. Itu juga terpaksa."

"Nggak mau makan apa lo pada?" Bima tiba-tiba bangkit dari kursi. "Ngobrol mulu kayak cewek."

"Eh, Bim, nitip es teh tarik!" Indra berteriak karena posisi Bima yang sudah jauh. Laki-laki itu mengacungkan jempolnya sebagai jawaban kepada Indra. "Good boy."

Bima kini sudah berdiri di belakang Mas Ejo, tukang bakso. Ia belum menyebutkan pesanannya, ia sedang menunggu Mas Ejo menyelesaikan pesanan untuk anak perempuan yang sudah mengantre sebelum dirinya datang. Ia memerhatikan bagaimana lihainya Mas Ejo meracik baksonya, menuangkan kuah ke dalam mangkok sampai dirinya tidak sadar bahwa posisinya beracak pinggang. Karena tinggi Bima dan Mas Ejo yang bisa dibilang jauh, Mas Ejo terlihat lebih kecil jika Bima sudah berdiri di belakangnya.

"Sambelnya banyak nggak, Neng?"

"Sedikit tapi banyak aja deh, Mas."

Bima terkekeh. Laki-laki itu masih dengan posisinya, namun kali ini matanya melihat anak perempuan yang tadi menjawab pertanyaan Mas Ejo. "Sedikit ya sedikit. Banyak ya banyak."

Kalau sudah seperti ini, sifat menyambar seperti petir Bima keluar.

"Tuh, Neng, dengerin." kata Mas Ejo ikut-ikutan.

"Berisik lo Bima." perempuan itu, Bella, memutar mata malas.

"Yang bener dong makanya," kekeh Bima lagi.

"Dih," respons Bella. "Udah Mas, nggak usah pake sambel sekalian."

"Lah," kata Bima masih wajah berseri. Ia melihat Bella mengambil mangkok dan berbalik. Namun, apa yang dilihat Bima ketika badan Bella berbalik adalah mata Aulia yang menatapnya balik. Selama sekian detik mereka bersitatap, sampai akhirnya suara Mas Ejo membuat Bima mengerjap.

"Mas Bima mau pesen kayak biasa?"

"Jangan panggil Mas dong. Masa saya disamain sama Mas Ejo," ledek Bima spontan. Namun ekspresi seperti tidak menunjukan bahwa ia sedang bercanda. "Iya. Tapi biar Aulia dulu."

Aulia hanya melirik Bima sekilas. Lalu ia menyebutkan pesanannya dan langsung disiapkan oleh Mas Ejo. Dari posisi berdirinya, Bima sesekali melirik ke arah perempuan itu. Ingatan ketika ia mengantar Aulia tadi malam langsung memenuhi isi kepalanya. Ia seperti merasa ada seseuatu yang menghalangi mereka berdua. Sebuah benteng yang tentu saja dibuat oleh perempuan itu. Dan itu sangat terasa oleh Bima sejak tadi malam.

Beberapa menit kemudian, bakso Aulia sudah selesai. Perempuan itu tidak mengatakan apapun bahkan sekedar melirik Bima pun tidak ketika ia berbalik, ia berjalan menuju mejanya yang cukup jauh dari gerobak bakso. Bima pun hanya diam. Memerhatikan punggung Aulia yang semakin menjauh.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang