Epilog

1.6K 56 5
                                    

"Ampun, deh,"

Itu ucapan pertama Isma ketika ia mendorong pintu dan melihat suasana kamar yang gelap. Perempuan itu hari ini mengenakan blus putih yang ditimpa dengan jaket hijau lumut yang lengannya ia gulung sampai siku dan legging hitam. Ia berjalan ke sisi ruangan dan tangannya menyibak gorden sampai terik matahari pukul setengah sepuluh pagi menyeruak masuk ke dalam dan ruangan berubah terang.

Ia membalikkan badannya dan menghela napas panjang. Perempuan itu melihat keadaan kamar terlebih dahulu sebelum ia berjalan ke sisi kasur. Badannya sedikit menurun dan tangan kanannya meraih bantal di bawah dan ia lempar ke tengah kasur. Manusia yang terkena bantal itu tidak terusik sama sekali.

"Bima, bangun!" Teriak Isma tidak terlalu kencang. Berharap laki-laki itu setidaknya bergerak dan menandakan ia sudah terbangun.

Namun nihil. Bima masih bergeming di tempatnya.

"Bim, bangun. Udah jam berapa ini," Isma sekarang menarik selimut putih yang semula menutupi sebagian tubuh Bima.

"Bim," mulai geram, kini Isma duduk di sisi kasur dan sedikit memajuka tubuhnya ke arah Bima. Benar apa yang dikatakan Mama laki-laki itu, Bima memang termasuk orang yang susah dibangunkan. Meskipun usahanya belum seberapa, tapi entah kenapa ia sudah mulai merasa kesal.

Rambut Bima berantakan tidak karuan. Matanya tertutup rapat dan entah kapan terbuka. Napasnya pun tenang, sesuai ritmenya. Cukup lama Bima hanya memandang wajah itu sampai ia sadar, "Astaga," ia memalingkan wajahnya sebentar. Ia jadi merasa canggung sendiri.

Kini tangan Isma sudah menepuk pipi laki-laki itu beberapa kali sambil terus berkata, "Bangun, bangun, bangun."

"Astaga, Bima! Bangun! Susah banget sih, dibanguninnya? Kesel deh gue."

Tanpa sadar Isma berteriak. Ia sudah geram kerena sama sekali belum ada reaksi dari Bima sejak ia membanugunkannya. Laki-laki itu akhirnya menggeram sambil berusaha membuka mata. Hal yang pertama ia liat hari ini adalah wajah kesal Isma. Kedua alis perempuan itu saling bertaut. Kentara sekali kalau ia sedang kesal. Ia menyinggungkan senyum tipis.

"Dih, gila apa lo bangun-bangun langsung nyengir?" dengus Isma. Sekarang ia bangkit dan berdiri di sisi kasur. "Bangun, ah, cepatan. Ini udah jam sepuluh kurang. Katanya kuliah jam sebelas?"

Butuh waktu beberapa menit untuk mengumpulkan semua kesadarannya. Bima akhirnya duduk kemudian mengusap wajahnya dan menguap beberapa kali. "Jam berapa?" tanyanya dengan suara khas baru bangun tidur.

"Sepuluh kurang," jawab Isma. "Cepetan mandi gue tunggu di bawah."

"Tunggu,"

"Apa lagi?" Isma yang sudah berbalik kini kembali manghadap Bima.

"Sini, deh,"

"Apa?"

"Sini dulu bentar,"

Seraya menatap Bima, perempuan itu berjalan mendekat sampai lutunya menyentuh sisi kasur. Laki-laki itu lalu menepuk ruang di sebelahnya. Menyuruh Isma untuk duduk di sana.

"Apaan, sih?" Isma menatap laki-laki itu bingung. Bima juga hanya menatapnya selama beberapa detik.

"Ah," desah Bima, kemudian memalingkan wajahnya. "Nggak jadi. Udah sana turun!'

"Bodo."

***

Setelah menunggu Bima hampir dua puluh menit, akhirnya laki-laki turun dari lantai dua. Penampilannya seratus delapan puluh derajat berbeda dari terakhir kali Isma lihat. Rambutnya basah dan berantakan tidak karuan dah wajahnya sudah segar. Laki-laki itu mengenakan kaos hitam dengan kemeja yang tidak dikancing dan lengannya digulung sampai siku serta celana jeans. Ia menuruni tangga sambal mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang