Bisma'28

775 45 0
                                    

Selama satu minggu penuh Bima tidak pernah absen datang ke rumah Isma dan selalu berakhir dengan pulang tanpa membawa penjelasan apapun. Ini malam ke delapan sejak Isma meninggalkannya dengan kebingunan di dalam mobil, dan Bima kembali menginjakkan kakinya di teras rumah Isma. Ia masih akan terus berusaha, ia masih akan terus mendesak perempuan itu untuk memberikan penjelasan.

Akan tetapi, lagi-lagi yang muncul dari balik pintu adalah Bunda Hana, Ibunya Isma, bukan sosok perempuan yang ia harapkan. Meskipun harus menelan kekecewaan lagi, Bima tetap tersenyum manis dan mencium tangan wanita itu. Tanpa menjelaskan lagi apa maksud dari kedatangannya, Bunda Hana sudah pasti tahu. Bahkan beliau tidak menawarkannya lagi untuk masuk ke dalam sekedar minum dan mengobrol sebentar. Karena sudah pasti Bima akan menolaknya secara halus. Ia hanya ingin anak perempuannya keluar dan menemuinya di sini.

"Isma baru banget tidur, Bim. Masuk angin katanya dari sore. "

Kemaren alesannya nginep di rumah nenek, sekarang apa? Kamu nggak pernah tidur jam segini, Ma. Dan kamu tega nyuruh Bunda kamu sendiri ngebohong? Sampai kapan, Ma? Batin Bima, tersenyum getir.

Dan Bima akan selalu menjawab. "Ya udah kalau gitu nggak apa-apa, Tan. Tolong kasih tau Isma buat bales sms dan angkat telpon Bima, ya."

Setelah itu ia akan pamit. Terlihat jelas ada terselip pancaran iba dari tatapan Bunda Hana ketika Bima lagi-lagi harus pulang dengan tangan kosong, lagi-lagi harus pulang tanpa bertemu Isma. Namun, beliau juga tidak bisa memaksakan anak perempuannya untuk berhenti bersikap seperti itu.

Isma mungkin marah karena ia baru mengetahui tentang hubungan Indri dan Galih di masalalu. Isma mungkin merasa seharusnya ia juga harus tahu kalau Bima pun tahu. Isma mungkin merasa ia tidak diperlakukam adil.

Hanya itu, hanya itu yang bisa Bima perkirakan. Namun kalau memang hanya itu, kenapa harus selama ini?

Di sini, siapa yang salah? Bima atau Isma?

***

Isma keluar dari salah satu bilik toilet sambil membawa paperbag berisi sepasang baju olahraganya dan berdiri di depan cermin, melihat pantulan dirinya dengan seragam putih abu-abu. Ia sedikit membenarkan seragam putihnya agar terlihat rapih. Tangan kanannya meraih tisu untuk menghilangkan sisa-sisa keringat di keningnya. Saat dilihat wajahnya sudah tak ada lagi keringat, Isma menarik kunciran rambutnya dan menggigit karet hitam itu. Ia sedikit menyisir rambutnya dengan tangan sampai sedikit rapih dan kembali menguncirnya. Ikatannya sedikit ia tarik agar tidak terlalu kencang. Poni yang sudah mulai panjang terbawa dalam kunciran sehingga hanya tersisa anak rambut di sekitaran keningnya.

Hanya ada satu orang selain dirinya yang ada di salah satu bilik kamar mandi. Karena ini masih jam pembelajaran dan Isma sudah lebih dulu selesai sebelum bel pergantian pelajaran berakhir di pelajaran olahraga sehingga ia masih punya waktu.

Isma keluar dari toilet setelah mencuci mukanya dan mengelapnya menggunakan tisu. Bersamaan dengan dirinya berbelok, ia melihat Akbar berjalan berlawanan arah dengannya. Ia tersenyum kecil. Dibalas dengan hal yang sama dengan laki-laki itu.

"Heh," sapa Akbar. Laki-laki itu bahkan sudah tidak terlalu canggung lagi untuk berhadapan dengan Isma semenjak ia mengantar pulang perempuan itu.

"Baru beres olahraga?"

Isma mengangguk sambil sedikit mengangkat paperbag-nya. "Iya. Lo mau ke kamar mandi?"

"Enggak." jawab Akbar tanpa diperjelasan kemana tujuan sebenarnya. "Gimana? Lo udah ngomong sama Laras?"

Isma menggeleng. "Belom."

Akbar mengernyit. "Ini udah lebih dari tiga hari, lho, Ma. Nggak baik marahan lama-lama."

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang