Bisma'25

781 43 1
                                    

Sudah lebih dari lima belas menit, Isma hanya menggigit sedotan pada minumannya. Ia sesekali meminumnya, namun setelah itu ia kembali menggigit sampai sedotan tersebut nyaris bolong. Laras yang duduk di depannya belum sadar akan hal itu, ia sedang sibuk dengan laptopnya. Namun ketika matanya tidak sengaja menangkap Isma yang sedang melamun, perempuan itu menjentikan jarinya di depan wajah Isma.

"Kenapa, sih?" Tanya Laras.

"Nggak apa-apa. Udah beres?" Isma menegakkan badannya. Ia sedikit menyengir ketika Laras hanya menatapnya.

"Belum, belum masih lama kayaknya. Lo kalau mau balik duluan, balik aja."

"Pundung."

Laras tertawa kecil. "Kagak, apaan dah. Serius gue." Perempuan itu melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Udah sore juga."

Isma ikut melakukan hal yang sama. "Lima belas menit lagi, deh."

"Terserah." Setelah mengatakan itu, Laras tidak sengaja melihat sedotan pada minuman Isma. "Najis, kebiasaan."

"Ha?" Isma bingung, namun ketika mengikuti arah pandang Laras, ia tertawa.

"Biasanya, sih, kalau gitu lo lagi mikirin sesuatu. Bener nggak gue?"

"Apaan?"

"Bener nggak gue tanya?"

Isma mendecih, ia memalingkan padangannya beberapa saat. "Iya, sih."

"Suka malu-malu gitu kayak anak baru. Kenapa dah lo?"

"Emm.." Isma kembali menggigit sedotannya. Membuat Laras gemas.

"Eh, lama, ya."

Isma menaruh kedua tangannya di atas meja. Memainkan sendok yang ada di atas piring bekas makannya beberapa saat lalu. Ia tidak tahu kenapa ia harus sebingung ini untuk menceritakan sesuatu kepada Laras. Padahal biasanya, ia langsung bicara. Tidak pernah seperti ini. Dan ia tidak tahu apa sebabnya.

"Kemaren Bima nembak gue," kata Isma akhirnya. "Nggak nembak, sih, Cuma yaa gitu."

"Yaa gitu gimana?" Tanya Laras. Tanpa disadari perempuan di depannya, air wajah Laras sedikit berubah.

"Yaa gitu. Dia nggak bilang kayak 'mau gak jadi pacar gue' atau semacamnya. Dia cuma bilang," Isma diam. Ia mengangkat sebelah bibirnya mengingat saat Bima mengatakan, "Can I be your the one?"

"Terus lo bilang apa?"

"Gitu, deh. Intinya gue ngeiya-in," ujar Isma. "Gue agak geli kalau diceritain secara detail. Lo tau gue kan, hehe."

Raut wajah Laras tidak berubah. Ia tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan ketika sahabatnya sedang merasa senang. Tidak memberi selamat, atau ucapan-ucapan seharusnya. Ia hanya menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi, melipat kedua tangannya di depan dada sambil menganggukkan kepalanya sekali.

Isma yang melihat respons yang diberikan Laras hanya diam. Ia tahu, gelagat yang ditunjukan Laras tidak menunjukan bahwa ia ikut senang. Isma ingin bertanya, namun entah kenapa ada perasaan takut jika ia mendangar jawabannya. Lantas ia kembali menggigit sedotannya.

"Gue boleh jujur?"

Suara Laras membuat Isma mengalihkan pandangannya dari anak kecil yang sedang berjalan di belakang kursi Laras. Ia mengangkat kedua alisnya, mengatakan kalau Laras boleh melanjutkan ucapannya.

Laras diam beberapa detik. Menimbang-nimbang seakan ia juga ragu untuk mengatakannya. Setelah ia berperang dengan otaknya, akhirnya yang keluar dari mulutnya hanya, "Lo apa-apaan, sih?"

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang