Bisma'13

819 51 0
                                    

Bima menggaruk kepalanya dengan kasar.

"Terus gue harus gimana, dong?" Tanyanya, gusar.

Abi memutar matanya bosan. Bima memang terkadang terlihat seperti orang ling-lung jika sudah seperti ini. "Ya, menurut lo aja harus ngapain."

"Tapi," Bima menegakkan badannya. Mengingat sesuatu. "Yang kemaren itu nggak sepenuhnya salah gue."

"Bukan salah lo gimana? Jelas lo yang –"

Perkataan Gian berhenti ketika ia melihat tatapan garang Bima yang mengarah pada Indra. Abi yang juga melihat itu, melirik kedua temannya bergantian.

"Apa?" tanya Indra.

"Ini gara-gara lo, anjing." Ucap Bima melotot.

"Kok gue?"

"Kok gue." Kata Bima mengulang ucapan Indra dengan tampang yang sama persis seperti ekspresi Indra saat mengatakan itu. Namun terlihat seperti meledek. "Coba kalo lo nggak bilang gue bakalan nemenin dia jenguk Bella. Semua nggak akan kayak ini, Bangsat."

"Bim," Abi memperingati.

"Sorry," lirih Indra akhirnya. Sungguh ia tahu ini salahnya. Kalau saja waktu itu ia tidak asal celetuk, tidak memprovokasikan, mungkin semua tidak akan seperti ini. Mungkin Aulia akan menyapanya tadi pagi saat berpaspasan di koridor.

"Terlajur," Bima mengibaskan tangannya. Seolah dengan kata maaf saja tidak bisa mengubah semuanya dengan mudah.

"Lo juga yang bego, Bim," sahut Gian dengan suara yang lebih tenang. Tidak mau terdengar seperti menutut. "Kalo lo emang nggak mau, harusnya lo nggak nge-iya-in."

Bima tahu itu. Tapi rasanya ia tidak bisa menolak kalau orang itu ada di sebelahnya. Ia tidak bisa mengatakan tidak ingin secara gamblang dengan keadaan Aulia yang juga pasti akan mendengarnya dengan jelas. Namun itu semua ia lupakan kala pikirannya hanya tertuju pada Isma.

Ingatannya kembali saat ia berjalan menghampiri Aulia beberapa hari yang lalu. Bertanya tentang sesuatu yang membuat Aulia bingung. Lalu pergi begitu saja tanpa sadar bahwa ia sudah mematahkan hati Aulia. Tidak sadar bahwa ia tidak menepati janji. Meskipun tidak sepenuhnya janji itu ia yang buat.

Gian memerhatikan Bima yang termenung. Sebenarnya sehari setelah kejadian Bima yang menginggalkan Aulia, ia sempat bertemu dengan perempuan itu. Entah keinginan dari mana, saat itu ia mengahampiri Aulia yang sedang berdiri di dekat mading. Cara Aulia manyapa dan tersenyum memang terlihat berbeda saat itu. Senyum yang tidak sampai mata. Gian tidak sempat bertanya tentang hari sebelumnya, karena saat itu Aulia berpamitan dengan alasan ia harus menyalin tugas. Akan tetapi setahu Gian, perempuan itu bukan tipikal siswa yang dengan gampangnya menyalin tugas teman kalau bukan benar-benar kepepet.

Bima yang masih termenung, tiba-tiba menangkap sosok objek yang menjadi topik pembicaraan bersama ketiga temannya di jam istirahat seperti ini. Mata mereka bertemu beberapa saat kemudian. Namun pada detik itu juga Aulia langsung mengalihkan padangannya. Seakan sosok Bima hanya orang lain.

"Kapan-kapan, deh, gue minta maafnya."

***

Bel pulang sekolah baru saja berdering.

Isma langsung membereskan semua barang-barangnya dan bangkit dari kursi setelah berpamitan dengan Laras. Hanya ada dua keinginan Isma saat ini. Pertama, tidak bertemu Akbar. Kedua, Bima datang lebih cepat. Sungguh ia tidak ingin bertemu Akbar untuk beberapa hari ke depan. Berpaspasan pun ia enggan. Isma hanya butuh waktu untuk menyadari perasaannya saat ini.

Koridor sekolah sudah penuh dengan siswa-siswi yang baru saja keluar kelas dan hendak kembali ke rumah masing-masing. Isma benci keramaian. Ia tidak memiliki phobia, hanya saja ia sedikit pusing jika sudah berada di antara keramaian orang. Ketika pikirannya melayang entah kemana, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang yang datang entah darimana. Harusnya Isma memberontak saat tahu bahwa yang menariknya adalah Akbar. Akan tetapi ia hanya pasrah. Sampai laki-laki itu membawa Isma ke lapangan basket indoor.

Bima & Isma [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang