Dua hari kemudian,..
Lee Ri Sa saat itu berdiri di atap gedung SMA Meongso yang sangat sepi dan tidak ada orang yang bakal datang ke tempat itu, sehingga Lee Ri Sa merasa tempat itu adalah tempat yang paling nyaman untuk menenangkan diri.
"Ya. Aku harus mempertahankan persahabatanku dan pergi dari rumah itu. Jika tetap di rumah itu, kemungkinan besar sasaran selanjutnya adalah Oppa. Masih banyak jalan untuk meniti kesuksesan sebelum kembali ke Indonesia. Masih banyak jalan untuk kembali menegakkan kepala didepan orang-orang yang membuatku harus membuang semua yang kumiliki. Kesempatan ini terlalu beresiko dan banyak hal yang harus kukorbankan lagi jika aku mengambilnya." Ungkapan dalam hatinya sambil memejamkan matanya dan menyandarkan badannya di pagar setinggi punggungnya.
Saat ia asyik menikmati hembusan angin yang menenangkan jiwanya, tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda ada panggilan masuk. Sejenak ia melihat nomor telepon orang yang menghubunginya dan merasa tidak kenal dengan nomor itu hingga orang itu melakukan panggilan yang kedua kalinya.
"Yoboseyo,.. nuguseyo? (hallo, anda siapa?)" tanya Ri Sa pelan.
"Mendengar bahasa yang kamu pakai, jadi kamu masih di korea, Reyka." Ucap orang yang di seberang sana yang menggunakan bahasa Indonesia dan terdengar seperti suara pria dewasa yang sangat familier di telinganya.
Mendengar suara itu, Lee Ri Sa langsung terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan kata-kata.
"Ingat Reyka,.. jangan pernah memunculkan dirimu dan Romi di Indonesia. Ingat janjimu!" tegas orang itu dengan nada ancaman.
Tangannya gemetar dan tanpa sadar telah mengepal.
"Papa tenang aja,.. sebelum sepuluh tahun, kami tidak akan kembali ke Indonesia. Saya tidak akan amnesia lagi pa,.." airmatanya berhasil meluncur bebas.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. Kamu bukan anakku. Dan karena kamu, anakku merasa tidak nyaman."
"Pa,.. emm,.. maksud saya,.. Anda sangat jauh berubah. Kemanakah kehangatan itu pergi?"
Tanpa ada jawaban dan yang ada adalah suara telepon putus. Kekalutan langsung kembali menyelimuti hati dan fikiran Lee Ri Sa saat itu. Air mata yang berkali-kali ingin ditahannya, ternyata lebih berkuasa saat itu. Isakannya pun sempat terdengar dan memecahkan keheningan di siang itu.
Dari kejauhan tepatnya di atap gedung SMA Dongjo yang memiliki gedung lebih tinggi dari gedung SMA Meongso, Kang Jung Tae melihat Lee Ri Sa yang sedang menangis sendirian. Dalam hatinya tergerak untuk mendekat dan menenangkannya. Namun, otaknya lebih berkuasa untuk tetap diam tanpa melakukan apapun.
Tak lama kemudian terdengar suara panggilan yang juga familier di telinga Lee Ri Sa. "Ri Sa-ya!"
Mendengar itu, Lee Ri Sa langsung menyeka air matanya dan menoleh ke kiri dan ternyata sumber suara tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia cukup terkejut saat melihat Choi Moo Gak di situasi yang sangat menyedihkan itu.
"Neo Gwaenchanh-ayo?" tanya Choi Moo Gak sambil berjalan mendekat ke Lee Ri Sa.
"Ne. (ya)" jawabnya singkat seraya memalingkan wajahnya dari Choi Moo Gak.
"Jinja? (benarkah?)"
Lee Ri Sa hanya diam tak bersuara.
"Apa yang membuat seorang Lee Ri Sa bisa menangis? Ceritalah! Aku akan siap jadi pendengarnya."
"Ini tidak ada hubungannnya dengan Sunbae. Dan tinggalkan aku sendiri." Masih memunggungi Choi Moo Gak.
"Setidaknya beri aku kesempatan untuk perhatian sama kamu. Apa memang itu terlalu sulit buatmu? Hanya beri kesempatan."
YOU ARE READING
Soul In Seoul
General Fiction--Seberapa banyak yang akan kamu dapatkan kelak tergantung seberapa banyak yang kamu korbankan dan kamu ikhlaskan hari ini.-- Kehidupan baru Lee Ri Sa / Yong Ri Sa setelah datang ke Seoul bersama kakaknya meninggalkan segala kenangan dari tanah ke...