Satu Titik (r)

787 23 19
                                    

"Lia, Tora, ingat! Enggak usah ke sekolah hari ini. Disuruh paman kalian buat bolos," seru Ray pada kedua anaknya yang sedang asyik beradu tongkat.

"Ah, mau pesta ya?" Lia menoleh dengan semangat. "Asyik, bolos! Aku mandi duluan!"

"Kak!" Tora berusaha mengejar, namun langkahnya kurang cepat. Ia baru sampai di teras rumahnya saat Lia sudah membanting pintu kamar mandi. Tora mendesah, jengkel.

"Wah, mukamu seperti mau badai. Tora, ini cuma duluan-duluanan mandi." Ray menarik tangan Tora, mengajaknya kembali ke teras. Menikmati pemandangan.

Tora menurut. Sambil menggenggam tangan ayahnya, ia bertanya spontan. "Ayah, kenapa namaku Amatora?"

Ray menatap kejauhan. Menaksir, hari ini akan cerah. Meski ada sedikit ganjalan di hatinya. "Kamu lahir di halaman ini, Tora. Di tengah gerimis. Namamu diambil dari kata mator, dalam bahasa Arab artinya hujan."

"Hujan?" Tora tampak menerawang. "Aku suka hujan. Apa itu karena namaku?"

"Mungkin." Ray duduk di kursi, menarik Tora ke pangkuannya. "Kamu tahu kan, kakakmu kemarin Jumat berulang tahun kesepuluh. Nanti kamu bakal berulang tahun kedelapan. Wah, tambah tua saja teman-teman kecil Ayah ini."

"Ayah juga tambah tua!" Tora protes. "Bunda juga. Enggak cuma aku dan Kakak!"

Ray tertawa. "Sepertinya kakakmu sudah keluar kamar mandi. Sana kamu gantian."

****

Lia asyik memainkan harmonikanya sepanjang menuruni bukit, ditingkahi Tora yang terus mencoba bernyanyi. Ray dan Arin di belakang mereka, awas mengawasi kedua anak yang kelewat lincah itu. Sesekali keduanya bertengkar. Lia mengomeli Tora karena tidak mau berhenti bernyanyi. Dan Tora protes karena Lia tak mau ganti lagu.

"Suka-suka aku dong, yang ulang tahun siapa!" seru Lia.

"Yang tua ngalah ke yang muda dong!" sengit Tora. "Aku mau nyanyi juga suka-suka aku kenapa sih!"

Ray dan Arin hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak mau menghabiskan tenaga sia-sia hanya untuk melerai mereka—yang pasti akan ribut lagi. Lagipula keduanya tahu, Lia dan Tora tidak akan bertengkar sungguhan. Keduanya tampak ditakdirkan untuk akur dan selalu bersama.

"Ray," panggil Arin.

Ray menoleh, namun Arin justru membuang muka. Mematut-matut hiasan bunga di bandananya yang selalu ia pakai, baik ia sedang memakai jilbab atau tidak.

"Lia dan Tora tampak istimewa sebagai kakak-adik. Belum pernah aku melihat mereka bertengkar sampai marah sungguhan. Tidak seperti aku dan Eugeo yang sama-sama sering ngambek ... haha."

"Kenapa?"

"Aku khawatir," gumam Arin. "Khawatir enggak bisa membesarkan mereka dengan layak. Ayahku mungkin kaya, tapi rumah kita ... ugh."

Ray tersenyum kecil. "Maaf soal itu. Tapi mereka sudah mendapat pelajaran yang akan sulit ditanamkan kalau sudah dewasa. Pelajaran untuk selalu mensyukuri keadaan."

"Kuharap kamu enggak lupa soal apa yang kusampaikan kemarin, Ray."

Ray nyaris mematung di tempat. Kemarin?

Arin tertawa. "Nah kan, enggak usah tegang. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Kamu kawal kedua teman kecil kita di depan. Biar aku di belakang, jaga-jaga."

Mulut Ray terbuka, hendak bersuara, namun tak ada yang keluar. Tidak. Aku akan terus di sampingmu.

Arin sudah beralih, mengejar Lia dan Tora, memberi mereka masing-masing satu jitakan. Membuat Ray tersenyum kecil. Mengapa istrinya tampak begitu kekanakan? Ah, ngaca dong. Sendirinya juga kadang bertingkah seperti anak kecil. Ia mempercepat langkah, menyusul ketiga anggota keluarganya yang kini sedang bernyanyi bersama.

Perjalanan menuruni bukit memakan waktu lima belas menit. Mereka sampai di kaki, bersiap menyeberang jalan.

Lia mulai iseng, memainkan lagu yang sama dengan yang sejak tadi ia mainkan. Menggoda Tora. Benar saja, Tora langsung mengejarnya, hendak merebut harmonikanya.

"Ganti lagu, Kak!" seru Tora.

"Enggak mau." Lia mengelak, berputar-putar di tengah jalan.

"Kalian, hati-hati!" seru Ray, melerai mereka sambil mendorong ke tepian."Kalau lagi nyebrang jalan jangan sambil bercan—"

Ada yang mendorongnya kuat. Begitu kuatnya sampai Ray, Lia, dan Tora semuanya terpental ke halte. Dan semuanya terperanjat mendengar suara klakson mobil yang begitu nyaring. Ray mengusap kepalanya, membimbing Lia dan Tora bangun.

"Tadi itu ap—Hah?!"

Pandangan mereka semua melihat sebuah mobil yang sempat mengerem mendadak, lalu lanjut lagi tancap gas kuat-kuat. Semuanya terpana.

Seseorang tergeletak di tengah jalan, dalam posisi menelungkup seperti habis terdorong ke depan. Bukan hanya itu.

Pakaian itu.

Bandana itu.

Ray terjajar mundur sampai menabrak tiang halte. Pupil matanya melebar. Bicaranya terbata-bata.

"Arin ...."

(Bersambung)

****

Belum belum udah udah

22/5/24
zzztare

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang