DM6: Surat dari Lia

115 9 0
                                    

"Lia! Smile!"

Seperti biasa, Radit berisik. Lia membuang napas. Anton geleng-geleng kepala.

"Kalian udah deket ya. Kapan pacaran?"

"Aku gak akan pacaran," Lia sudah menyahut sebelum Radit sempat bicara. Ia menatap Anton jengkel. "Jangan asal ngomong. Kamu gak tau apa aku gak suka orang yang bisanya nuduh doang?"

Anton mati kutu. Ia langsung takut dengan Lia. Sementara Radit geleng-geleng kepala. Dalam otaknya ia memikirkan rencana.

Betapa cepat waktu berlalu di sekolah, meski terasa sangat lambat di rumah. Lia merenungi teman-temannya yang maju presentasi. Dalam benaknya muncul pertanyaan, tapi ia mengabaikannya. Menurutnya hal-hal itu sudah tidak penting lagi. Dalam pikirannya, ia hanya terpikir bagaimana cara mencari uang.

"Haruskah aku bikin biola dan menjualnya?" pikirnya. Namun pikiran lainnya menyerang.

"Kerja saja di toko Paman!"

"Ngamen aja!"

Lia menggeleng kuat-kuat. Ia tidak bisa fokus. Ia tahu Pak Kur memperhatikannya sepanjang pelajaran. Saat Lia melihat buku tulisnya, ia kaget sendiri karena halamannya telah dipenuhi gambar dan tulisan tak jelas.

"Kapan aku nulis ini?!" Lia menatap lembaran itu, tak percaya. Ia menulis banyak hal. Ia menggambar rumahnya. Ia menggambar dirinya dan Tora. Ia menggambar Ray dan Arin. Ia menggambar Eugeo dan Kakek. Ia menggambar danau, bukit, gunung, alat-alat musik. Ia melihat tulisannya, yang ia tahu itu isi pikirannya. Lia menutup bukunya, khawatir akan berbuat aneh-aneh lagi.

Presentasi selesai dan sisa waktu masih banyak. Lia yang masih menunduk tiba-tiba disodok Radit.

"Apaan sih?"

"Dipanggil Pak Kur, tuh."

Lia langsung bangkit, melihat Pak Kur menatapnya. Tatapan beliau tajam dan khawatir sekaligus. Lia berjalan pelan ke meja guru.

"Ada apa, Pak?"

"Kamu gak bisa fokus ya?"

Nadanya sangat khawatir. Lia menunduk.

"Iya, Pak."

"Apa yang bisa Bapak perbuat, biar kamu bisa semangat kayak dulu lagi?"

Kali ini Lia melihatnya. Tatapan Pak Kur sangat berharap. Lia menghela napas.

"Saya... Saya gak tahu. Saya gak pengen ke sekolah, dan saya juga gak pengen pulang. Saya gak tahu saya kenapa."

"Kamu salah satu murid tercerdas," ujar Pak Kur. "Mana mungkin Bapak membiarkanmu menderita begini. Apa kamu merasa kamu butuh psikolog?"

Lia tampak berpikir. Ia tahu ia stress. Tapi ia tidak yakin ia butuh psikolog.

"Saya cuma mau Ayah saya pulang, Pak."

Kalimat itu Lia ucapkan sambil menahan air matanya. Lalu ia permisi kembali ke bangkunya.

"Apa Pak Kur tahu masalahmu?" tanya Radit. Ia bungkam saat melihat Lia menatapnya tajam.

Di ruang guru, Lia bertemu Pak Hanu dan Bu Asri. Pak Hanu terus membujuk Lia untuk bercerita lengkap. Lia tahu ia tidak bisa, maka ia selalu bercerita sedikit.

"Waktu aku bolos itu, aku ikut Paman ngelaporin ke polisi. Sampai sekarang belum ada kabar, selain posisi... Posisi... nomor yang pernah SMS ke hape aku, udah ketauan." Lia menunduk. Mana mau ia bercerita semuanya. Ia sungguhan bisa gila.

"SMS apa?" tanya Pak Hanu, namun Lia tak mau menjawabnya.

"Lia," ia merasakan tangan Bu Asri menyentuh lengannya. Lia menoleh sedikit.

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang