DM42: Sang Kakak

82 5 3
                                    

Tak ada sinyal. Lia sangat ingin menghubungi Eugeo, namun sepertinya mustahil. Lama kelamaan ia seperti mengharapkan kehadiran Radit yang mendadak, namun bisa membuatnya tenang untuk mencari jalan keluar.

"Kak..."

Tangan Tora kini benar-benar dingin. Bagaimana tidak, mereka mendengar bunyi berderak di atap. Sesuatu yang menggelinding, bertubrukan, seperti kerikil. Dan mereka kembali merasakan getaran.

"Pa... panas..."

Lia memandang Tora. Setelah bertahun-tahun tampak dewasa, kali ini Tora tampak seperti anak kecil yang butuh perlindungan. Lia merasa hatinya bergetar. Kasihan Tora. Lia memeluknya.

"Sebaiknya kita ke ruang bawah tanah, ya."

Rumah bergoncang beberapa kali. Suara berderak di atap semakin kencang. Mereka juga mendengar suara lemparan dari atas. Mungkin beberapa bongkah batu besar sudah beterbangan di luar sana. Lia membimbing Tora menuruni tangga menuju ruang bawah tanah, lalu keduanya meringkuk di sana.

"Tora, kamu kenapa?" Lia menepuk bahu adiknya. "Biasanya kamu tegar."

"Ini... maaf, Kak," Tora menunduk, seolah menyembunyikan dirinya dalam pelukan Lia. "Gunung meletus... salah satu hal yang paling aku benci. Makanya dulu aku sering banget nanyain, kalo gunung itu meletus gimana? Jawabannya, nggak ada yang bilang untuk jaga-jaga, kayak gunung ini gak bakal meletus aja."

Lia tidak bisa membalasnya. Ia tentu ingat, Tora, terutama saat masih kecil, gemar sekali bertanya soal gunung meletus.

"Kak, kapan kita bisa ke atas?"

"Aku gak tahu..."

Keduanya meringkuk di sana beberapa lama, sampai tertidur saking bosannnya. Beberapa jam kemudian, Lia memutuskan untuk keluar. Alasannya, belum sholat.

"Kamu tunggu aja di sini, aku ngecek keadaan."

Tora mengangguk takut-takut. Ia amat lega saat kakaknya kembali muncul, berkata keadaan sudah tenang.

"Tapi tivinya rusak, Ra. Kita ga bisa tahu kabar lagi."

Tepat saat itu ponsel berdering. Lia langsung mengangkatnya, dan disambut ungkapan syukur pamannya.

"Kita ke sana sebentar lagi. Setelah ada urusan dulu. Tenang aja, Lia. Diperkirakan terjadi lagi dua jam lagi. Siapin masker atau slayer jangan lupa. Dan siapin bawaan terakhir kalian. Untung anginnya tadi bertiup ke arah sebaliknya sama kota, jadi awan panas gak ke sini."

Biar bagaimana pun Lia samarkan, suaranya tetap bergetar hebat di telepon. Ia tidak bisa mengontrol suaranya. Ia ketakutan.

"Baik, Paman. Aku bakal siap dengan kilat."

Setelah sholat, Lia menatap Tora yang sedang tiduran di sofa, berusaha menenangkan diri.

"Aku mau ke kebun. Mau ikut?"

Tora tak menjawab. Lia menatapnya lagi. Wajah adiknya pucat. Tentu ketakutannya bukan main-main. Lia tersenyum kecil. Perasaan ini muncul lagi. Perasaan seorang kakak yang ingin melindungi adiknya. Lia menghampiri Tora, membelai kepalanya.

"Kamu istirahat dulu, ya. Kakak balik gak lama kok."

"Uh, ya, jangan lama-lama, Kak," gumam Tora. "Takut."

Lia mengambil topi rimba, memakainya dan meletakkan satu di kepala Tora. Ia menyiapkan slayer di samping sebotol air. Lalu ia membuka pintu.

Tanah itu telah berubah. Batu-batu berserakan di halaman. Tidak besar, paling hanya seukuran genggaman Lia. Lia berjalan pelan ke kebun. Ia menatap kandang ayam yang sudah hampir kosong itu.

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang