DM5: Teman Sejati

72 5 0
                                    

"Ah, untung kamu belum pulang."

Lia terpana sementara Agnes menghampirinya.

"Lia ... Jangan pergi dulu. Ada yang mau aku tanyakan ke kamu."

"Mama mau ke rumahnya lagi?" celetuk Radit tiba-tiba. Agnes menggeleng, lalu berpaling, mengabaikan Radit.

"Lia, kami, atas nama grup ayahmu, sangat sedikit mengetahui informasi. Apa kamu mau membantu kami?"

"Ngapain?" Lia memalingkan muka. Baik Agnes maupun Radit terpana. Lia mulai melangkah, namun Agnes menariknya.

"Lia, tolong ... Tolong hargai kami yang sama-sama khawatir. Ayahmu itu sahabat kami. Kami juga merasa kehilangan."

"Nggak sebesar aku," Lia berusaha menarik tangannya.

"Kenapa?" tanya Radit. Agnes menatapnya tajam.

"Kamu enggak membuatnya marah kan?"

"Enggak," sahut Lia cepat sebelum Radit sempat merespons. "Tante, aku cuma mau kasih tahu sedikit. Aku akan gila kalau cerita semuanya. Dan aku nggak mau Radit dengar."

"Kenapa?" tanya Radit lagi. Lia hanya menggeleng.

"Nanti kamu malah makin menggangguku."

"Tuh kan!" Agnes langsung menjitak Radit yang meringis. Lalu mengusirnya, menyuruh pulang lebih dulu. Ia menarik Lia ke tempat yang agak sepi.

"Ceritakan," gumam Agnes dengan mata berkaca-kaca. Lia menghela napas.

"Tante tahu kalau Ayah pergi. Dari terakhir Tante tahu kabar Ayah, Ayah belum pulang sampai sekarang."

"Udah berapa lama?"

"Satu setengah bulan," gumam Lia. "Udah, itu aja infonya. Aku mau pulang."

Satu setengah bulan. Agnes terpana mendengarnya. Lia dan Tora, hanya hidup berdua selama itu? Ia menoleh pada Lia yang mulai melangkah ke gerbang sambil menunduk.

"Lia, ingat ya."

Lia melirik ke arah Agnes.

"Anggap aku dan Randi, orang tuamu juga."

Lia menunduk. Tangannya mencengkeram tali tasnya erat.

"Gak bisa," gumamnya. "Gak akan ada yang bisa gantiin Ayah dan Bunda. Biar aku berdua aja sama Tora, juga Paman."

Hanya gumaman. Agnes tak mendengarnya. Sementara Lia langsung berlari menuju halte di seberang sekolah, dan menubruk seseorang.

"Maaf ...."

"Mau jujur gak?"

Lia terpana, sementara Radit di hadapannya, menatap iba.

"Kok belum balik?!" Lia mulai emosi. Radit menghela napas.

"Lia, hari-hari ini kamu hampir selalu senyum di sekolah, meski aku ga liat alasannya. Tapi begitu pulang, senyummu langsung ilang."

"Kok meratiin?" Lia merinding. Radit salah tingkah, menatap jalanan.

"Jujur aja, Lia. Yang di sekolah itu, senyum palsu, kan?"

Lia terperangah sementara Radit menatapnya.

"Banyak yang bilang, kamu cuma bisa bener-bener bahagia sama keluargamu. Aku juga udah liat, tiap kamu bareng keluargamu, entah Paman atau ayahmu, kamu selalu girang. Juga tiap mau pulang sekolah, kamu jadi semangat, muka-muka bahagia. Kamu bilang kangen rumah, atau pengen cepet pulang, apalah. Sekarang kamu emang cepet-cepet keluar kelas, tapi kakimu keliatan berat. Kamu juga nunduk, gak semangat kayak dulu. Kamu ada masalah di rumah, ya?"

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang