DM27: Rumah Bukit

96 10 6
                                    

Kehilangan teman secara tiba-tiba.

Dua kali sudah Radit mengalaminya. Kakak beradik itu. Keduanya lenyap tiba-tiba.

Saat awal semester, ia masih berpikir, mungkin Tora masih jalan-jalan atau baru pulang. Ia tiap hari ke ruang musik, bermain-main sendiri. Menunggu Tora. Hingga sebulan tidak ada kabar, Radit makin penasaran. Ia ke kelas Tora, dan bertemu Ipik.

"Fikri, apa kamu tahu kabar Tora?"

"Enggak, Kak," gumam Ipik loyo. "Padahal aku juga mau nanyain hal yang sama ke Kakak. Kita semua... gak tahu."

Arif juga tidak tahu. Ryan apalagi. Radit makin waswas. Ada masalah apa lagi ini? Bahkan sampai UCUN mulai diadakan, Tora masih belum kelihatan batang hidungnya.

Radit mencoba mengirim Eugeo pesan. Ia agak kaget membaca balasannya yang kasar. Ia tidak mau ambil risiko nomornya diblokir. Akhirnya ia memutuskan membiarkan dirinya tenggelam dalam pertanyaan. Sebenarnya masalah apa yang dihadapi keluarga itu? Radit memukul-mukul drum. Ia tidak yakin bisa tampil bersama Tora nanti saat pensi. Dan perlahan, kecemasan menghantui dirinya.

"Mereka yang udah dekat denganku," gumamnya. Alisnya berkerut.

"Kenapa keduanya menghilang? Apa emang takdirku nggak sama mereka ya? Aduh, Tora... Udah mau US. Kalau kamu masih gak muncul juga, setengah semester, kamu gak bakal naik kelas..."

Bahkan sampai kelar UN, Tora masih saja menghilang. Radit merasakan kepanikan di antara guru-guru. Ia tahu, surat panggilan sudah dikirim ke wali Tora, Eugeo. Namun tak ada respons. Saat-saat penuh kejanggalan itulah, Radit mendapa setitik jawaban. Ia sudah pasrah, entah Tora ke mana. Asal bukan dirinya yang tiba-tiba menghilang. Namun sejak itu, ia malah teringat Lia.

"Lia kan kakaknya," gumamnya. "Apa keluarga itu dapet masalah lagi? Aku... pengen bantu. Tapi di mana coba kedua anak itu?"

Radit bosan, ia membongkar file di laptopnya. Sebuah folder ia buka. Back Up Ag1. Bukan penasaran, hanya bosan saja. Mana ia tahu hal itu berujung pada sesuatu yang pernah membuatnya bertanya-tanya. Ia membuka folder kamera, melihat foto-foto lama. Sudah bertahun-tahun yang lalu, tampaknya saat ia masih TK. Ia mengecek tanggalnya. Benar saja, sudah sepuluh tahun yang lalu. Radit langsung tertawa.

"Ada foto aku gak ya?"

Radit lupa bagaimana ia menjalani masa TK. Ingatannya baru benar-benar bekerja saat ia SD, sejak ia sering bermain perang-perangan, saat anak-anak perempuan sering mengejarnya dan mencubiti wajahnya, saat Radit akhirnya berbalik jadi meneror anak-anak perempuan. Ia tersenyum kecil.

"Ini kayaknya aku... Hah?"

Bagaimana ia tidak kaget? Ia memang melihat dirinya di foto. Namun ia juga melihat anak lainnya. Mata itu. Radit berdebar-debar. Bagaimana bisa? Radit mengecek beberapa foto lagi. Dan ia makin terperangah. Pasti Agnes memotret mereka diam-diam. Tapi Radit lupa ia pernah berteman dengan anak itu...

"Ampun! Ini Lia kan?!"

Radit mengecek foto itu lagi, zoom in, zoom out, sampai ia pusing sendiri. Radit benar-benar syok. Ia? Akrab dengan Lia? Waktu TK? Saat sedang bertanya-tanya, sesuatu menyentuh bahunya.

"Hayo, ngapain kamu..."

Radit berpaling cepat. Dilihatnya mamanya sedang berdiri di belakangnya, tersenyum simpul. Radit langsung gelagapan.

"Eh? Eh? Eh!"

Tangannya gemetar menutup satu demi satu foto yang tadi dibukanya. Namun Agnes langsung memegang tangannya. Radit keringat dingin, sementara Agnes tersenyum simpul.

"Akhirnya kamu melihatnya ya, Dit. Iya, itu Lia. Apa kamu lupa sama sekali?"

Radit mengangguk. Ia tegang. Agnes menunjuk foto itu.

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang