DM44: Pertemuan

62 4 3
                                    

❤❤❤ written in love ❤❤❤

****

"Kamu bisa kan Dit? Bapak tahu kamu bisa. Kamu kan pede."

"Uh, ya ... jadi, saya harus bilang apa?"

"Kamu tinggal kasih daftar. Semua sekolah udah dikasih tahu. Nanti ketemu Bapak ya, di deket gapura."

"Saya sendiri doang nih Pak?"

"Ada siapa lagi di deket kamu?"

"Ada...." Radit melirik tak jauh di sampingnya, melihat Lia yang sedang membaca sebuah buku. Radit menghela napas.

"Ada satu anak kelas 11. Gapapa, Pak, saya sendiri aja. Jam berapa?"

Baru pekan kedua setelah mereka pindah. Kampung itu mulai ramai, sejak pemerintah mewajibkan penduduk yang bertempat tinggal dalam radius 50 Km untuk pindah, atau mengungsi. Siang itu Radit bersiap-siap untuk bertemu salah seorang gurunya, yang akan membantunya untuk mendapatkan sekolah yang bisa menampungnya ujian.

Lia sedang tepekur menatap buku di salah satu sudut ruang tengah yang besar itu, tampak bosan. Ia melihat Radit.

"Mau ke mana?"

"Mau nyari sekolah," sahut Radit langsung. "Aku kan udah mau ujian."

"Buat kelas bawah juga?" tanya Lia. "Aku mau sekolah lagi. Aku bisa mati bosan kalau kelamaan kayak gini."

"Ya, aku gak tau, semoga aja," Radit mengangkat bahu. "Mau ikut?"

Lia menatap Radit. "Boleh?"

"Mungkin. Ayo!"

Pak Tino agak kaget melihat mereka berdua. Namun beliau segera menguasai dirinya, tersenyum.

"Kenapa kalian berdua?"

"Karena...." keduanya langsung bungkam saat menyadari mereka bicara bersamaan.

Pak Tino tertawa, menepuk bahu Radit. "Ayo."

Mereka mengunjungi sebuah bangunan SMA Negeri. Suasana masih cukup ramai. Maklum, hari sekolah. Mereka disambut di kantor Kepala Sekolah, lalu lanjut berdiskusi di ruang wakil. Lia kebanyakan diam. Ia diam-diam mengagumi Radit. Perkataannya jelas dan lugas, juga meyakinkan. Pak Tino sesekali menimpali. Mereka kebanyakan bicara tentang sekolah, keadaan gunung, keadaan mereka setelah pindah, keadaan mereka sebelum pindah. Tidak, mereka bukan bicara. Mereka mengobrol.

"Nak, kenapa kamu diam saja?"

Lia tersentak, menyadari pertanyaan itu untuknya. Lia menelan ludah. "Ah, saya ...enggak tahu mau ngomong apa."

Gelak tawa terdengar di ruangan itu. Lia agak tersipu. Salah seorang guru, Bu Wati, memajukan duduknya.

"Kalau boleh tahu, Nak, gimana keadaanmu sebelum kamu pindah?"

Lia agak tertegun. Ia menunduk, lalu mengangkat wajah perlahan.

"Rumah saya...." gumam Lia. "rumah saya...."

Dan ingatan berputar di otaknya. Lia merasa perih, namun ia tahu ia harus mengikhlaskan itu semua.

Rumah yang diamanatkan Ayah untuk saya jaga dari orang-orang tidak berhak. Rumah yang sudah saya jaga sampai hampir mengorbankan kehidupan saya. Rumah terdekat dari puncak gunung, rumah pertama terdampak letusan gunung. Rumah yang sudah jadi saksi tentang perjuangan saya dan adik saya, sejak lahir sampai saat itu ...

Lia tiba-tiba terisak. Semua yang hadir langsung panik. Terutama Bu Wati. Beliau mengelus bahu Lia, merasa bersalah.

"Maaf, Nak, kalau kamu jadi inget...."

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang