DM48: Waktu yang Berputar

104 6 12
                                    

"Kak, kayak biasa ya. Aku ke Al-Ukhuwah dulu."

"Roger! Pegangan yang bener ya, jangan sampe mental!"

Sudah akhir semester dua Lia kuliah. Ia selalu pulang dan pergi bersama Shifa, sohib sekamarnya juga di rumah. Toh Shifa selalu membawa motor. Dan Lia, sesuai perkataannya dulu, memilih mengabdi di Al-Ukhuwah. Terkadang bersama ayahnya. Namun Ray juga sibuk. Kota mati yang sempat ditinggalkan karena bencana gunung meletus kini sudah bangkit lagi. Tempat wisata mulai dibuka. Dan banyak yang mengincar tanah milik keluarga Lia. Anggaplah tanah itu masih milik Ray, toh Lia juga belum berkeluarga. Dan Ray dengan senang hati meladeni mereka yang hendak membeli tanah. Meladeni, dengan kepala batunya.

"Jangan usik tanah itu. Perjuangan dapetnya."

"Ini kita orang juga lagi berjuang, Pak."

"Haha, jaman sekarang udah gampang sih. Tinggal ngasih fulus, beres." Ray memukul meja. "Enggak kayak dulu. Peraturan yang ketat, yang harus ditaati dengan sepenuh hati, baru Kakek saya bisa dapet tanah itu. Ini amanah kami. Tanah turun temurun keluarga kami. Kalau ada yang bikin bangunan macam-macam di sana, bahkan nggak perlu saya sumpahin, bangunannya juga bisa rubuh sendiri."

Lia tahu. Tanah itu bukannya terkutuk. Tapi tanah itu mencari pemilik sejatinya. Lia turun di depan gerbang, berterima kasih pada Shifa, lantas masuk ke dalam. Ia disambut tiga anak perempuan; Tasya, Lala, dan Hani. Tiga bocah berumur tujuh tahunan itu langsung memeluk Lia.

"Kak Lia, abis magrib aku duluan yang setoran ya!" seru Hani.

"Enggak, aku!" seru Lala.

"Ih, jangan lah. Aku udah nge-tag dari kemarin!"

Lia tertawa, mengelus kepala ketiganya. Ia bertemu Bu Nisa dan mencium tangannya.

"Apa kabar, Nak? Gimana kuliahmu?"

"Alhamdulillah lancar, Bu. Doain ya."

"Tentu. Ayo masuk, kamu bisa bantu masak kan?"

Beginilah rutinitas Lia tiap hari, kalau pulang kuliah tepat waktu. Datang, membantu di dapur, mengurus beberapa hewan ternak, membantu di kebun, menumpang mandi, magrib, mendengar anak-anak mengaji, lantas pamit setelah isya. Biasanya ia pulang sendiri, jalan kaki. Kadang diantar anak Pak Huda, Ghufron, yang sebenarnya super sibuk tapi tidak tega melihat ada perempuan jalan kaki berkilo-kilometer di malam hari.

Tapi hari ini agak berbeda.

"Duh, ana sibuk, anti beneran gak papa?"

"Santai Akh. Mataku biasa dalam gelap." Lia ingin tertawa melihat ekspresi Ghufron. Umur mereka terpaut lima tahun, dan mengikuti kebiasaan Ghufron, Lia ikut memakai 'akhi' untuk memanggilnya, dibanding 'kakak'.

"Kalo ana punya adik udah ana suruh nemenin anti."

"Dari dulu ngomongnya itu mulu. Makasih ya, Akh, aku balik sekarang."

Lia baru hendak berbalik saat tiba-tiba merinding mendengar suara di belakangnya.

"Assalamu'alaikum!"

Seseorang memegang bahunya. Lia sungguhan merinding sekarang.

"Wa'alaikumussalam. Ya Akhi Radithya! Apa kabar?"

"Baik, Akhi Ghufron."

Mereka berjabat tangan akrab. Radit memicingkan mata, melihat Lia yang tampak tegang.

"Kamu kenapa?"

"Le... pas..."

"Oh."

Radit melepas tangannya yang sejak tadi memegang bahu Lia. Refleks, tiap melihat Lia bicara dengan laki-laki lain. Sementara Ghufron tertawa.

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang