Sehati (Rev)

148 7 1
                                    

"Kamu tahu kita di mana?" Lia menunjuk langit, karena hanya itu yang bisa ditunjuk.

"Sungai di bawah bukit belakang rumah." Tora langsung menjawab.

Lia memandangnya jengkel. "Ceritanya kan kita nyasar, Ra."

"Tapi aku enggak mau nyasar." Tora menatap kakaknya takut-takut.

"Jangan khawatir, kan ada aku." Lia menunjuk dirinya dengan penuh percaya diri. Tora tersenyum sedikit, lalu kembali murung.

"Kakak enggak bakal misah sama aku, kan? Sesuai janji?"

"Iyalah, jelas."

"Kalau aku enggak nemu Kakak, gimana?"

Lia meletakkan tangannya di kepala Tora, mengusapnya. "Jangan takut, kakak akan selalu ada."

"Kalo aku kepisah dari Kakak terus enggak nemu Kakak gimana?"

"Teriak 'KAKAK' sekencang mungkin. Kakak akan langsung muncul di hadapanmu. Tring! Kayak sulap."

****

Ingatan itu terlintas begitu saja di benak Tora. Ia sejak tadi ketakutan luar biasa. Sibuk meminta maaf dalam hati. Pada ayahnya. Ray pasti tidak pernah menyangka ia akan bertengkar dengan Lia. Pada bundanya. Ia takut Arin kecewa padanya.

Dan tentu saja, pada kakaknya.

Seiring dengan ingatan barusan yang muncul tiba-tiba, Tora berpikir hanya kakaknya yang untuk sekarang paling bisa diandalkan.

Tora melihat ke arah depan. Sungai berbatu itu sudah di depan matanya. Entah bagaimana, namun orang yang mengejarnya masih lima meter di belakangnya. Bagaimana cara melintasi sungai ini tanpa terkejar?

"Kena kau-"

"KAKAK!"

Sesosok dengan kuda-kuda tiba-tiba muncul di hadapannya. Sosok itu, tanpa bereaksi apa pun, langsung menarik tangan Tora. Seolah sudah direncanakan dengan matang. Saking tiba-tibanya, orang yang mengejar Tora sampai terpaku. Tora yang entah bagaimana kecepatannya kini meningkat berkali-kali lipat masih mendengar kata-kata orang itu sebelum kembali ke hutan.

"Tahun depan! Ingat! Tepat setahun lagi! Kau dan keluargamu akan menyesal! Ini peringatan!"

Tora keringat dingin. Apa? Dia dan keluarganya? Tahun depan? Namun ia tak sempat berpikir karena tiba-tiba ia menubruk sosok yang sedari tadi menarik lengannya. Dan lebih membuatnya terpana, ketika ia tiba-tiba dipeluk.

"Jangan dengar. Keluarkan dari pikiranmu. Jangan dipikirkan. Kamu aman sekarang. Kamu aman denganku."

Suara itu. Belum lama ia dengar, tapi sudah sangat ia rindukan. Keduanya terduduk di tepi sungai, pinggir hutan rimba.

"Gimana Kakak bisa tahu tempatku?" Tora bertanya takut-takut, masih ngeri dengan kemarahan kakaknya semalam. Namun ketakutannya sirna setelah melihat sosok itu tersenyum. Itu Lia. Kakaknya yang ia kenal.

"Sungai kelihatan dari kamar. Itu jauh dari vila. Terus aku ngelihat kamu sendirian lagi meniti sungai. Sendirian! Masa iya aku enggak cemas. Makanya aku susul. Dan maaf, aku takut mengganggu waktu sendirianmu, makanya aku enggak nyapa kamu, cuma ngawasin kamu saja ...."

"Kakak lihat?" tanya Tora langsung. "Orang tadi, Kakak juga tahu kan?"

Lia hanya menunduk, memerhatikan aliran air di depannya. "Maafin aku, Ra."

"Buat?"

"Kata-kataku semalam. Aku lagi kebawa emosi."

"Oke Kak, kumaafin. Aku enggak mau Kakak enggak nganggep aku adik. Nanti janjinya hangus semua."

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang