Duet (Rev)

110 7 0
                                    

Lia tidak tahu soal Manda yang bersekongkol dengan Anton, mengajak teman-teman dekat Lia, selain Radit, untuk menyelidiki hubungan mereka sebenarnya.

Tidak tahu, sampai ia mendapati seluruh teman dekatnya duduk semeja di kantin. Lia heran, tentu saja. Karena tidak semua temannya akrab satu sama lain. Segera ia hampiri meja itu, ia gebrak tanpa tahu malu.

"Kalian? Kok ngumpul?"

Semuanya langsung menoleh ke sumber suara.

"Kok ada Rana sama Amel? Kok ada kalian? Bahas apaan? Kok enggak ngajak-ngajak?"

Dan Lia melihat gelagat mereka. Gugup. Apalagi semuanya langsung bungkam begitu Lia muncul. Perasaan aneh seketika menjalari hatinya. Sakit hati. Kecewa. Sambil menahan perasaannya agar tidak tiba-tiba meledak, ia melengos. "Kelihatan. Kalian merahasiakan sesuatu dariku. Sampai kalian enggak memberi tahuku," Lia berbalik, "awas saja."

Lia kembali ke kelas. Ia duduk di bangkunya, mengomel.

"Apa-apaan mereka. Semuanya kan dekat sama aku. Tapi enggak ada Radit ... Eh?"

Lia tersentak. Ia menyadari sesuatu. "Wah! Bahaya! Mana Radit?"

Teman-teman Lia tak tahu, nalar Lia tajam. Turunan dari kedua orang tuanya yang peka. Lia berlari ke ruang musik, karena seingatnya Radit tadi izin padanya. Ia membuka pintunya, nyaris membanting. Dan tampaklah Radit sedang tiduran di depan AC, langsung melambai begitu melihat Lia.

"Mau latihan kan? Ayok. Masih lima belas menit istirahat."

"Radit!" Lia segera masuk dan menutup pintunya, lalu menghampiri Radit. "Kita ini apaan, sih?"

"Hah? Kita?"

"Eh, bukan! Apaan sih! enggak tahu ah!"

"Kenapa sewot!"

"Kacau!" Lia melompat-lompat gemas. "Dit, kamu kuangkat jadi asistenku."

"Mantan asisten," sahut Radit.

"Gak, ini tugas baru," Lia melotot padanya. "Kupingmu kan caplang. Kalau Anton lagi ngobrol pelan sama Manda atau Ivan, nguping saja."

"Apa hubungannya sama kuping caplang!" seru Radit.

"Ya nangkepnya lebih bagus. Kayak antena parabola."

"Siapa yang caplang!"

"Ah ribet. Minggir, aku mau ngambil keyboard."

Radit memerhatikan Lia memasang adaptor pada keyboard lalu menyalakannya dan mengatur volumenya. Terdengar bunyi berdenting. Suara piano. Radit tanpa sadar tersenyum. "Asek."

"Apaan asek?" seru Lia. "Dah nih, dah siap. Jadi lagu itu kan?"

Radit duduk di kursi drum, mengambil ancang-ancang memukul.

"Jadi lah. Yang mulai siapa duluan?"

"Bareng!"

"Yok, aku dulu," Radit memukul simbal. "Empat kali masuk, ya!"

Radit memukul simbal empat kali. Lia tahu maksudnya. Dan tangan kirinya segera memainkan nada-nada rendah.

****

Lia berguling-guling di kasur. Sakit perut, sedang datang bulan. Ditambah perasaan kesalnya. Sebenarnya Lia agak trauma soal teman-temannya yang membicarakan sesuatu di belakangnya sejak insiden telur saat ulang tahunnya yang lalu, saat SD. Teman-temannya merencanakan 'pesta' di belakangnya, berujung pada amukan Lia yang nyaris mematahkan leher salah seorang temannya. Rana jadi saksi di sana. Karena itulah, Rana sangat waspada jika bicara Lia mulai meninggi.

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang