DM4: Mengikuti Rencana

105 4 0
                                    

"Kalian ... Keberatan enggak?"

Lia dan Tora menunduk, lalu menggeleng. Eugeo mendesah. Ia menatap ponsel di tangannya dengan tatapan kosong, setelah memutuskan menghapus nomor tadi. Tersambung, tapi malah terdengar nada dering yang aneh. Hatinya dipenuhi penyesalan. Mengapa ia melakukannya, padahal sudah jelas-jelas Ray larang? Ia pasti tak bisa berpikir jernih. Ia pasti gila. Eugeo menatap jam. Sudah hampir subuh.

"Kalau memang kalian nggak masalah ... Baiklah. Nanti kita ke kantor polisi."

Pagi itu mereka tak ada kesibukan. Baik Lia maupun Tora tidak bersiap ke sekolah. Mereka hanya duduk di depan pintu, menatap kosong lapangan rumput di depan rumah mereka. Merasakan angin berembus. Keduanya bahkan masih memakai pakaian tidur. Lia juga tidak memakai jilbabnya.

Lemas. Keduanya terlampau lemas. Ray tidak pulang. Sudah lewat sebulan. Itu berarti, kini giliran mereka melapor pada polisi. Keduanya bolos sekolah. Keduanya sungguh tidak ingin melakukan apa-apa. Sementara Eugeo, demi menyalurkan emosinya, ia sibuk membuat sarapan di dapur.

"Lia, Tora, sarapan dulu sini."

"Entar aja, Paman." Sahut Tora.

"Kalo udah terang aja, Paman," ujar Lia. Keduanya masih menatap rerumputan dengan embun yang berkilauan di ujung-ujungnya, tertimpa cahaya matahari terbit. Lia menunduk. Rambutnya yang masih digerai mengenai ujung-ujung kakinya. Ia mengaitkan lengannya pada lengan Tora, sangat erat. Tubuh keduanya menggigil, antara kedinginan dan terisak. Eugeo menghampiri keduanya, berlutut, dan menyentuk pundak mereka.

"Aku tahu, perasaan kalian ...."

Kalimat itu menggantung. Setelah itu hanya diam. Lamat-lamat terdengar suara burung-burung pagi berkicau. Lia menarik napas panjang.

"Ini," suaranya bergetar. Tora dan Eugeo langsung menoleh. Lia kian menunduk, rambutnya kini mengenai lantai beranda.

"Pagi yang sama," lirihnya. "Seperti yang aku lihat, seperti yang kita semua lihat, waktu liburan ... Menyaksikan matahari terbit bersama-sama, merasakan embun di kaki ...."

Tora ingin melanjutkan, namun urung. Kakaknya langsung menyambung lagi.

"Tapi hanya waktu liburan, kita bisa lihat ini semua ... Karena, waktu aku dan Tora masuk sekolah, kami sudah berangkat jam segini."

Lia menengadah, memandangi langit.

"Ini yang kedua kalinya aku melihat ini saat hari masuk. Kedua kalinya aku absen sekolah. Kalo yang pertama ...."

Tora tahu. Ia mencengkeram lengan kakaknya erat.

"Kali pertama melihat pemandangan ini di hari sekolah, kali pertama absen, itu hari terakhir Bunda."

Eugeo merasa hatinya sakit, mendengar penuturan Lia. Ia tahu pasti Lia dan Tora juga merasakan sakit, entah sama atau lebih hebat darinya.

"Maafin Paman ...."

"Kenapa?" Keduanya langsung menoleh. Namun Eugeo hanya menunduk.

"Paman ...." Tora memegang lengan Eugeo. "Paman pasti banyak pikiran, kan? Paman pemilik toko. Paman mikirin juga toko mebelnya Ayah. Paman juga mikirin nasib kita berdua. Paman tenang aja, gak usah terlalu dipikirin. Kami masih bisa kok berdua."

"Apa aku suruh Agnes saja?" gumam Eugeo. "Agnes, atau keluarganya, untuk mengurus kalian."

"Nggak usah!" seru Lia dan Tora langsung. Eugeo tersenyum kecil.

"Makan dulu yuk. Abis ini kita langsung ke kantor polisi."

Mereka sarapan dalam diam, ditingkahi kicauan burung-burung pagi dan juga suara televisi yang sengaja dinyalakan supaya tidak terlalu hening. Lia menunduk. Tora menunduk. Keduanya sangat ingat saat-saat dulu. Tanpa perlu televisi, rumah itu sudah ramai. Arin yang memukul-mukul panci di dapur, beralasan sedang main drum. Ray memukul-mukul meja kerja dengan alat pahat, beralasan membalas Arin. Lia dan Tora yang memukul-mukul piring dan meja makan, beralasan supaya makin berisik. Itu semua terjadi saat liburan, sudah bertahun-tahun yang lalu.

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang