DM34: Mimpi Masa Kecil

116 9 22
                                    

Radit mendengar suara Tora yang mendayu-dayu. Hatinya bergetar. Luar biasa dalamnya suara anak itu saat mengaji. Ia memang sengaja mengajak Tora untuk ikut pengajian remaja rutin di sebuah masjid di kota. Dan karena perkara tanah sudah bisa dikatakan aman, maka Lia dan Tora cukup sering menginap di kota, meski Tora masih belum bersekolah. Dan Lia, masih sering trauma jika tidak bersama Tora.

"Hei," bisik Radit, di perjalanan pulang. "Kamu dulu ngaji di mana?"

"Dulu aku belajar yang ribet-ribet di kampung," Tora tersenyum. "dan yang ngajarin aku kalau bukan di kampung, ya... ayahku."

Tora langsung memalingkan muka. Radit menyimpulkan kalau Tora pasti merasa sedih kalau membahas orang tuanya. Keduanya terdiam sampai di halte terdekat.

"Aku jalan kaki dari sini," Radit melambai. "hati-hati, ya. Pasti kakakmu udah nungguin di halte depan rumah kakekmu."

Benar, Lia langsung menyongsongnya begitu Tora turun.

"Ayo, Kakek udah nunggu! Udah ada ide lagi kan?"

Apa yang dibicarakan Lia?

Tentu saja, konser Tora.

Keluarga itu sudah berembug dan memutuskan akan menghadap sekolah, kalau-kalau Tora boleh masuk mulai semester dua. Namun mereka belum melakukannya. Menunggu waktu yang tepat, kata Eugeo. Dan sementara itu, Tora disibukkan dengan cita-citanya masa kecil.

"Kalian tidak akan menyangka siapa yang akan datang malam ini," Kakek tersenyum. Tora yang sedang sibuk menulis not dan Lia yang sedang mencoba-coba biola langsung mendongak.

"Siapa?"

"Teman Kakek."

Teman Kakek? Lia dan Tora berpandangan. Lia malah gagal fokus. Sudah pukul sembilan malam, masih saja ada yangmau bertamu. Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Seorang pelayan hendak membukakan pintu, namun Kakek langsung mencegahnya. Matanya tersenyum.

"Tora, bukakan pintu."

"Baik, Kek!"

Tora bangkit, sudah pasti Lia juga. Lia langsung menyambar jaket dan jilbabnya yang selalu ia sampirkan di gantungan dekat pintu. Sementara Tora memutar kunci.

"Assalamu'alaikum..."

Kalimat itu tertahan di ujungnya. Tora langsung melihat kaca mata yang tebal, rambut yang keperakan ditimpa cahaya lampu. Dan ekspresi terkejut yang tampak dari gerakan tubuhnya maupun mulutnya.

"To... ra..."

"Pak... Hanu..."

Lia yang mendapati Tora tertegun di pintu langsung menghampirinya.

"Ada ap..."

Dan Lia melonjak. Wajah tua itu. Guru yang paling dekat dengannya. Yang pernah mendengarkan isi hatinya sampai Lia menangis.

"Lia..."

Lia dan Tora demikian terperangah sampai keduanya mematung, sebelum akhirnya Kakek menghampiri mereka.

"Ayo masuk, Pak."

"Mister..."

Lia dan Tora mundur sampai menabrak Kakek, sementara Kakeklangsung memegang bahu keduanya, mengajak mereka masuk ke dalam. Lia dan Tora duduk di sofa, saling berimpitan di kanan-kiri Kakek. Pak Hanu duduk di depan mereka, tersenyum.

"Saya bertamu malam-malam, ya. Kalau Anda tidak mengundang saya, saya gak akan berani." Beliau menunduk, lalu kembali mengangkat muka. Tampak lebih cerah.

"Apa kabar, Lia, Tora? Lama nggak ketemu. Hampa gak ada kalian."

"Ah," Tora gelagapan. Heran, ia merasa ingin menangis. "Maaf, Pak, aku... gak ada kabar..."

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang