DM29: Ingatan

84 11 4
                                    

Sampai matahari terbit sepenuhnya, Radit masih bersantai di rerumputan. Lia duduk tak jauh darinya, menatap layar ponselnya.

"Aku mau ke kota sekarang. Kamu mau pulang juga kan?"

"Pewe..." gumam Radit. Lia menatapnya yang terhalang rerumputan.

"Aku tinggal nih?"

"Hah, mau ke mana?" Radit langsung meloncat. Lia menghela napas.

"Ke kota. Dipanggil Paman."

"Kenapa Paman gak ke sini?"

"Kenapa sih emang? Udah ah, aku udah ditungguin. Yuk."

Radit tidak bisa menghentikan pikirannya. Sambil menggenggam tab-nya erat-erat, ia menahan perasaannya agar tidak tiba-tiba meledak. Makin ia pikirkan, makin malu ia dibuatnya.

"Aku emang udah sering main bareng," gumamnya. "Tapi... ini rekor! Dari sore sampe pagi!"

Radit kegirangan. Ia sampai rumah sambil berjingkrakan. Agnes menatapnya heran.

"Kamu sampe nginep toh? Kenapa gak bilang dari pagi?"

"Ah, itu rencana dadakan! Maaf!"

"Heh, besok masuk kan. Ngapain?"

"Main doang paling," Radit melempar-lempar sebuah botol yang ia temukan di meja makan. Senyumannya sangat lebar. Ia masuk ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi. Agnes menatapnya curiga. Ia tersentak saat tiba-tiba Radit muncul.

"Mama aku bisa bantu apa sekarang?"

****

"Lia, kamu sehat-sehat aja?" Liz langsung menyambutnya. Lia mengangguk.

"Gak usah khawatirin aku, Kak."

"Gimana gak khawatir?" Eugeo langsung menyahut. "Ditelpon gak diangkat, dari semalem. Ngapain kamu? Biasanya megang hape mulu gara-gara kesepian."

Liz langsung menyikut Eugeo sementara Lia menunduk.

"Maaf, Paman," gumam Lia. "Ada sesuatu semalam."

"Sesuatu?" Eugeo langsung memegang bahu Lia. "Ada apa? Cerita!"

Lia menunduk makin dalam.

"Nggak mau."

"Kenapa?"

"Jangan bentak dia, Kak," Liz melepas tangan Eugeo dari bahu Lia. "Mungkin dia belum siap cerita."

"Bukan gitu Kak," gumam Lia. "Paman udah kebanyakan beban. Paman gak usah risau tentang aku lagi, aku tahu aku punya teman."

"Lia, ini semua... demi kamu..."

"Aku udah baikan, Paman. Kalau Paman mau berhenti mengurus aku, gak papa kok."

"Kamu... ngomong apa?"

"Enggak. Lupakan aja."

"Lia..." Eugeo menegak, meski kepalanya menunduk. "Kamu menyembunyikan sesuatu. Kenapa?"

"Paman, izinkan aku," Lia menggoyang tangan Eugeo. "Hidupku membosankan. Biarkan aku punya rahasia."

"Terserah kamu Lia. Tapi terima ini."

Liz maju. Ia memberi Lia sebuah kotak. Lia menerimanya, bingung.

"Kamu sudah besar, Lia. Kamu kemarin berulang tahun, ya kan? Kamu sudah dewasa. Tapi, kami akan tetap mengawasimu. Karena aku, juga Kak Geo, adalah walimu."

"Ini apa?"

"Tolong jaga. Kalau kamu mau kami nggak ikut campur lagi, kami nggak akan ikut campur. Tapi kami masih berusaha, Lia. Demi kembalinya ingatanmu."

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang