DM18: Beban bagi Tora

100 9 10
                                    

Tora merasa tertekan.

Pertama, umurnya memang masih sepuluh tahun, meski tak lama lagi sebelas.

Kedua, ia terlalu pendek.

Ketiga, Arif.

Keempat, Radit.

Kelima, masalah keluarganya.

Dan yang paling membuatnya terpukul, senyum kakanya yang tak kunjung muncul.

"Kak, kenapa? Marah?"

"Enggak, ngapain aku marah."

Nada yang sangat biasa, diucapkan dengan wajah yang sangat biasa pula. Lia tak berekspresi. Tora bergidik.

"Kak, aku gak mau sekolah kalau Kakak enggak senyum."

Lia mengusap kepala Tora. Lembut, seperti biasa.

"Kamu HARUS bersekolah."

Tora sering melamun di kelas, meski cepat tanggap jika dipanggil. Ia tak peduli saat Adam dan Ipik menyodok-nyodoknya dari belakang, juga mengabaikan Rani yang memukul-mukul mejanya.

"Kenapa sih? Arif ya?"

"Bisa jadi," gumam Tora. Rani langsung berapi-api.

"Lapor! Dra, itu bullying! Kamu sering dipukulin kan?"

"Aku akan melapor, tapi maaf Ran," Tora tersenyum kecil. "Jangan ikut campur lagi ya."

"Uh, aku kasian denganmu."

"Aku gak perlu dikasihani," Tora mendengus. "Aku laki-laki, dan akan menyelesaikannya dengan caraku. Tenang aja, dia bakal kapok."

"Tapi..."

"Apa?"

Suara Tora begitu tajam. Rani sampai terpana.

"Aku akan melapor sekarang. Dah, puas? Aku takut kenapa-kenapa kalo kamu ikut campur. Lagian ini bukan masalahmu, sama sekali bukan."

Hari itu Tora menghadap Pak Umar. Menunduk. Dan menceritakan banyak hal.

"Bapak tahu kakakku?"

Pak Umar tahu. Dan Tora bisa menceritakan dengan lebih tenang.

"Saya bawa tongkat tiap hari. Kakak saya dulu juga. Itu amanat ayah saya, untuk menjaga diri."

Ia bercerita, perlahan-lahan, soal Arif yang sering mengganggunya. Tanpa sedikit pun nada minta dikasihani, atau mengadu. Ia murni melaporkan.

"Saya minta maaf, kalau suatu hari nanti saya menyebabkan keributan karena itu."

Pak Umar tampak merenung.

"Preman itu," gumam beliau. "Kepsek sudah turun tangan, tapi tetap saja mereka muncul lagi. Mereka sudah sepakat dengan satu hal yang kami tidak tahu."

Tora diam, mendengarkan.

"Amatora, kamu bisa membantu kami?"

"Hah?"

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Guru-guru semua tahu, kakakmu orang yang kuat. Penyebabnya tidak masuk sekolah lagi, mesi cuma sebagian guru yang tahu, bukan alasan remeh. Dan Bapak yakin, kamu juga orang yang kuat."

"Saya... ngapain?"

"Telusuri kesepakatan mereka," Pak Umar menghela napas. "Tapi kalau kamu gak sanggup, nggak papa. Bapak dan yang lainnya akan sangat berterima kasih kalau kamu bisa membuat mereka kapok."

"Membuat kapok... apa?!"

Tora begitu terperangah sampai Pak Umar tertawa.

"Bapak gak bercanda. Itu serius. Kalau kamu gak sanggup, itu bukan kesalahanmu. Tapi kalau karena itu kamu ditindas..."

Our LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang